Oleh: Saad Saefullah
ADA dua kali waktu yang jika saya beranjak keluar rumah, maka selalu saja istri saya yang menutup pintu. Pertama, saat hendak berangkat kerja. Kedua, ketika berangkat ke masjid.
Bertahun-tahun lamanya, bahkan setelah anak-anak besar, kedua hal itu selalu ia lakukan. Saya dan istri saya sebenernya bukan tipe romantis ala drama apalah itu. Pas hari kelahiran aja lempeng-lempeng weh tanpa saling ngucapin apa kek gitu apalagi ngasih hadiah. Saya, dan kayaknya juga dia, masing-masing tau, kalau hari itu kami sedang berulang tahun.
BACA JUGA: Namanya Utang ya Utang Juga
Kami pernah membahas soal itu. Sekali. “Apa maknanya,” ujar saya, “kamu ngucapin selamat ulang tahun ke aku? Atau sebaliknya? Yang ada, usia kita semakin berkurang.” Dan tambahan dari Abdurrahman bin Auf, sementara amal kita tiada bertambah?
Istri saya setuju.
Tapi saya ga julid juga kalau ada suami istri yang mau saling nunjukkin afeksi seperti itu. Ya hidup itu jadi berwarna karena orang lain ga sama dengan kita. Saya juga ga anti ngucapin selamat milad yah. Sebagian temen saya, inget dong, kalau saya juga inget sama hari yang buat mereka istimewa. Kata Syeikh Ali Jaber, semoga Allah SWT menempatkannya di tempat terbaik di sisi-Nya, tidak apa mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah.
Balik lagi ke menutup pintu. Saya dan dia juga ga pernah membahas ini. Saya ga pernah nanya, kenapa harus dia yang nutup pintu pada dua waktu itu. Dia juga ga pernah nanya, kenapa saya harus nungguin dia selesai masak atau keperluan lainnya kalau saya mau keluar rumah di waktu itu.
BACA JUGA: Medsos, Reuni, dan Cinta Lama
Seorang istri, memang ga harus selalu tau apa yang dilakukan suaminya. Tapi seorang suami, wajiblah memberikan rasa aman dan percaya pada istrinya pada apa yang ia lakukan di luar rumah. Bisa jadi si suami pergi kemana. Bisa jadi si suami ngelakuin yang ga oke menyangkut istrinya.
Dua kali menutup pintu, buat saya sangat berarti; dia paling tau apa yang saya lakukan, dan saya, saat melangkahkan kaki, menggarisbawahi–seorang lelaki, yang ga bahagia di rumahnya, ga bakalan bisa bahagia, dimanapun dia berada di muka bumi ini. []