KEMARIN seorang sahabat bertanya padaku,
“Din, kenapa ya orang gak bersyukur?”
Aku berpikir sejenak dan kukatakan padanya,
“Bisa jadi keinginan atau tuntutan dia lebih besar dibandingkan penerimaan.”
Dia bertanya lagi,
“Kalau orang bersyukur apa yang akan terjadi?”
Lalu kujawab, sebenarnya kita harus tuntas dulu mendefinisikan bersyukur itu apa. Dalam bahasa psikologi, besyukur sering disebut dengan istilah grateful, artinya menunjukkan sikap terimakasih atas kebaikan yang kita terima. Sikap itu bisa ditujukan kepada orang atau kepada Tuhan.
Menerima juga ada dua versi, sekadar menerima lalu sudah dan menerima lalu memaksimalkan apa yang diterima. Mana versi terbaikmu?
Kalau definisi yang kedua, artinya jika seorang bersyukur step selanjutnya orang tidak akan lagi banyak menuntut tetapi justru lebih banyak memaksimalkan.
Contoh jika seorang menerima diri sesuai potensinya dia akan banyak memaksimalkan dengan memberikan effort kepada sekitar dengan yang dia bisa.
Contoh lain kalau seseorang dapat uang jajan 50.000 sehari. Orang bersyukur akan memaksimalkan untuk kebutuhan yang paling penting. Bahkan bisa menggunakan itu untuk berbagi, modal dia mendapat uang lagi, atau menabung.
So, kalau orang bersyukur kesimpulannya akan banyak memberi dibanding menuntut. Orang bersyukur akan memberikan yang terbaik sebagai bentuk terimakasih. Memberi untuk diri sendiri, baik pada hari ini atau masa depan, memberi untuk orang lain.
Aku membatin, ya rabb… level syukurku sudah sejauh mana ya?
Lalu dia bertanya lagi, kenapa orang bisa berpikir negatif?
Aku tersenyum. Diskusi semakin menarik.
“Menurutmu bagaimana?”
“Aku gak tahu, Din,” Jawabnya.
“Hmmm sebentar, menurutku justru jawabannya memang karena nggak tahu.”
“Gimana?”
Kujawab pertanyaanya dengan panjang lebar, orang berpikir negatif karena tidak tahu. Contoh ketika ada anak bertengkar. Terus kita menganggap anak itu nakal. Padahal bisa jadi anak itu bertengkar karena sedang mempertahankan nilai kebenarannya masing-masing. Dimana berujung pada memaksakan kehendak sampai timbul pertengkaran.
Artinya orang hanya melihat negatif karena tidak tahu alasan sebenarnya.
Dalam hidup, kita sering menganggap negatif suatu hal. Misal ujian. Orang berpikir ujian itu negatif karena dia tidak tahu alasan ujian itu harus ada. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah menerima ujian ini.
Kalau orang beriman mestinya gak ada pemikiran negatif, karena dia tahu bahwa setelah ada ujian pasti ada hal baik yang mengikuti.
“Wow, insightful!” Balasnya.
“Artinya pemikiran negatif muncul karena dua hal. Ketidaktahuan dan memaksakan kebenaran lalu kemalasan untuk mengonfirmasi.”
“Terus apa yang akan terjadi ketika orang berpikir positif?” Tanyanya lagi.
“Orang positif hidupnya kayaknya lebih tenang. Sebab dia tahu bakal selalu ada takdir terbaik buat dia. Pun pada orang lain, orang positif gak terlalu memikirkan kesalahan orang lain, baginya apa yang terpenting adalah apa yang dia lakukan pada orang lain.
Dia akan fokus pada bagaimana menjalankan hidup, bekerja untuk esok, memberi kebahagiaan untuk keluarga, orang sekitar, berolahraga, beribadah dengan khusuk.
Kalau dalam psikologi, dengan teori kebutuhan Maslow, orang seperti itu sudah masuk pada tingkat kebutuhan tertinggi, yaitu aktualisasi diri, secara teori memang gampang tapi praktik tidak segampang itu tentu.”
“Hmmm… ” Ia bakal mendeham namun kata-katanya menggantung. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya.
Ah! Apapun yang dipikirkannya, bukankah diskusi ini menarik. Sembari menyesap teh di pagi hari, aku mulai menakar diri. Sejak mana level syukurku, dan sejernih apa aku berpikir tentang hidup. []