AISHA Ali Khan, seorang wanita muslim yang kontra terhadap larangan burka di Inggris, mengaku mendapatkan perlakuan rasis. Guru bahasa Inggris dan sejarah itu mengaku dipaksa pulang oleh seorang akademisi dari Oxford University yang mendukung kebijakan larangan penggunaan burka di Inggris.
Metro.uk melaporkan, peristiwa tak menyenangkan itu terjadi pada 18 September lalu di Yorkshire, Inggris.
Pengusiran itu terjadi saat Aisha tengah menghadiri makan malam yang diselenggarakan oleh salah seorang temannya. Kala itu, Aisha duduk di sebuah meja dengan orang-orang yang berasal dari bidang pendidikan. Selama makan malam berlangsung, mereka membicarakan berbagai topik termasuk politik.
BACA JUGA: Ratusan Massa Protes Undang-Undang Larangan Cadar di Denmark
Aisha menjelaskan, Dr Peet Moris menyuruhnya pulang jika dia tetap mendukung penggunaan hijab atau burka bagi muslimah. Ia menambahkan, istri Dr Morris yakni, Dr Harriet Dunbar-Morris juga hadir pada jamuan makan malam tersebut dan mencoba untuk menenangkan keadaan. Namun berakhir gagal.
“Sebagai seorang perempuan yang lahir dengan warna kulit yang berbeda, saya merasa dikucilkan dan merasa menjadi korban rasisme. Semakin aku berbincang dengan tamu-tamu lainnya, aku semakin tertekan,” kata Aisha.
Aisha menjelaskan, meskipun dia tidak mengenakan hijab atau burka, dia merasa itu adalah hak seorang perempuan untuk mengenakan busana yang dia inginkan.
Aisha membagikan pengalaman tidak menyenangkan ini di akun Twitter pribadinya. Namun hingga saat ini belum mendapat tanggapan langsung dari pihak Oxford University.
Dear @UniofOxford do you agree with your academic Dr Peet Morris that those who don’t agree women should dress in a western manner should ‘go home?’ https://t.co/iMABIHbz2F
— Aisha Ali-Khan (@aak1880) September 29, 2019
Setelah viral, seorang juru bicara Oxford akhirnya mengeluarkan sebuah pernyataan resmi di akun media sosial mereka.
BACA JUGA: Pengadilan Quebec Kembali Tunda Penerapan UU Larangan Bercadar
“Kami diingatkan oleh berbagai pihak, atas kasus yang terjadi di sebuah acara pribadi yang tidak ada kaitannya dengan universitas. Dr Peet Moris bukanlah mahasiswa ataupun akademisi dari universitas kami. Dia hanya menjalani kontrak biasa untuk memberikan pelatihan komputer,” tulis pernyataan itu.
“Dalam kebijakan kami, Oxford University selalu berkomitmen untuk mendorong budaya inklusif yang mempromosikan kesetaraan, nilai-nilai keanekaragaman, dan memelihara lingkungan di mana hak dan martabat semua orang di hormati,” tambahnya.
Untuk menutup tuduhan ini, Oxford University juga menegaskan bahwa mereka selalu merangkul keberagaman di antara para mahasiswa maupun orang-orang yang berkaitan langsung dengan universitas. Mereka juga selalu mempromosikan kesadaran akan kesetaraan dan mendorong praktik-praktik yang positif.
“Semua anggota komunitas universitas diharapkan untuk bertindak sesuai dengan kebijakan ini dan memahami nilai-nilainya,” tutup pernyatan tersebut. []
SUMBER: METRO.UK