DAHULU aku adalah seorang remaja putri yang nakal. Aku mengecat rambutku dengan warna warni setiap waktu dengan mengikuti mode yang sedang trend. Aku juga mengenakan pewarna kuku yang nyaris tidak pernah kuhapus, kecuali untuk merubah warnanya. Abayaku hanya kuletakkan di atas pundakku agar dapat menarik perhatian para pemuda.
Aku sengaja ke pasar dengan memakai wewangian dan perhiasan yang menarik. Iblis benar-benar telah menggodaku untuk melakukan semua dosa, yang kecil mau pun yang besar. Lebih dari itu semua, aku tidak pernah sujud kepada Allah sekali pun. Aku bahkan tidak tahu bagaimana mengerjakan shalat.
Yang lebih mengherankan adalah karena aku seorang guru dan pendidik anak-anak. Guru yang selalu dipandang dengan penuh penghormatan. Aku mengajar di salah satu sekolah yang terletak jauh dari kota Riyadh. Aku selalu meninggalkan rumahku setelah shalat shubuh, dan tidak kembali kecuali setelah shalat ashar. Yang penting waktu itu kami adalah sekelompok guru perempuan.
Di antara mereka, akulah satu-satunya yang belum menikah. Di antara mereka ada yang baru saja menikah, ada yang tengah mengandung. Ada pula yang sedang menjalani cuti melahirkan. Aku pula satu-satunya di antara mereka yang telah mencabut rasa malunya. Aku biasa ngobrol dan bercanda dengan sopir seperti ketika aku berbicara dengan salah satu kerabatku.
Hari demi hari berlalu, dan aku masih dalam kelalaian dan kesesatanku. Pada suatu pagi, aku bangun terlambat. Aku segera keluar dan mengendarai mobil yang biasa kami tumpangi.
Ketika aku naik ke mobil dan memperhatikan, ternyata di kursi belakang tidak ada orang lain selain diriku. Aku menanyakan itu kepada sopir, lalu ia menjawab, “Fulanah sakit, yang ini melahirkan.”
Mendengar itu, di dalam hatiku aku mengatakan, “Baiklah, karena perjalanannya jauh, maka aku akan tidur hingga nanti kami tiba di tujuan.”
Aku pun tidur di mobil dan tidak terbangun kecuali saat mobil itu berada di sebuah jalan yang rusak. Aku terbangun dengan penuh ketakutan. Aku membuka penutup jendela.
“Jalan apa ini? Apa yang telah terjadi? Pak sopir, kemana engkau membawaku?”
Dengan penuh kesetanan dia menjawab, “Sekarang engkau akan mengetahuinya.”
Aku memperhatikannya dan aku pun tahu rencana busuknya. Maka dengan penuh ketakutan, aku pun mengatakan:
“Pak sopir, apakah engkau tidak takut kepada Allah?” Apakah engkau tahu hukuman atas perbuatan yang akan engkau lakukan?”
Dan entah ucapan apalagi yang kukatakan untuk menghalanginya melakukan niatnya. Yang pasti, aku tahu bahwa aku akan binasa.
Dengan penuh percaya dirinya pula si sopir itu mengatakan, “Engkau sendiri, apakah engkau tidak takut kepada Allah? Engkau tertawa-tawa dan bercanda denganku? Apakah engkau tidak tahu kalau engkau telah menggodaku? Dan aku tidak akan melepaskanmu hingga aku melakukan apa yang kuinginkan.”
Aku pun menangis. Aku mencoba berteriak, tapi tempat itu begitu jauh. Tidak ada seorang pun selain aku dan sopir terlaknat itu. Ini adalah sebuah padang pasir yang menakutkan. Aku memelas dan lelah menangis. Hingga dengan penuh keputus asaan dan menyerah, aku mengatakan, “Kalau begitu biarkanlah aku mengerjakan shalat dua rakaat, siapa tahu Allah sudi mengasihaniku.”
Ia pun setuju memenuhi permintaanku. Aku pun turun dari mobil seperti orang yang akan diseret menuju hukuman mati. Aku pun shalat. Itu adalah pertama kalinya aku mengerjakan shalat dalam hidupku. Aku shalat dengan perasaan takut dan pengharapan. Air mata memenuhi tempatku bersujud. Aku memelas kepada Allah agar mengasihiku dan menerima taubatku. Suara tangisku memecah keheningan tempat itu. Dengan cepat kematian terasa begitu dekat. Aku pun menyelesaikan shalatku.
Aku melihat mobil saudara laki-lakiku datang..!! Benar sekali, itu saudara laki-lakiku dan jelas sekali ia sengaja mendatangi tempat ini.
Aku tidak sempat lagi berpikir bagaimana ia bisa mengetahui tempatku ini. Tapi aku benar-benar gembira dan mulai meloncat-loncat memanggilnya. Sopir itu memarahiku, tapi aku tidak mempedulikannya.
Yang kulihat adalah saudaraku yang tinggal di Syarqiyyah dan saudaraku yang lain adalah yang tinggal bersama kami. Salah seorang dari mereka pun turun dan memukul sopir itu dengan sebuah kayu yang keras, lalu berkata, “Naiklah bersama Ahmad di mobil. Aku akan menaruh sopir ini di dalam mobilnya sendiri di pinggir jalan.”
Aku pun segera naik ke mobil bersama Ahmad. Kebingungan menyelimutiku dan aku bertanya padanya, “Bagaimana kalian bisa mengetahui tempatku? Bagaimana engkau bisa jauh-jauh datang dari Syarqiyyah?”
“Nanti di rumah, engkau akan mengetahui semuanya,” jawabnya.
Muhammad pun bergabung bersama kami, dan kami pun kembali ke Riyadh. Sementara aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Ketika kami tiba di rumah, saudara-suadara ku itu mengatakan, “Pergilah menemui ibu dan sampaikan padanya apa yang terjadi. Kami akan kembali sebentar lagi.”
Aku masuk menemuinya di dapur. Segera aku memeluknya sambik menangis. Aku ceritakan kisahku padanya Lalu dengan penuh rasa kaget, ibu berkata, “Tapi memang Ahmad masih di Syarqiyyah! Sedang Muhammad masih tidur di kamarnya.
Kami pun pergi ke kamar Muhammad, dan ternyata memang ia masih tidur. Aku membangunkannya seperti orang gila dan bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
Namun ia bersumpah atas nama Allah bahwa ia tidak pernah keluar dari kamarnya dan tidak tahu peristiwa yang aku aku alami.
Aku segera pergi ke tempat telepon lalu mengangkatnya -aku benar-benar hampir gila-. Aku menelpon Ahmad, tapi ia mengatakan, “Aku sekarang sedang di tempat kerjaku.”
Setelah itu semua, aku menangis tersedu-sedu. Aku akhirnya sadar bahwa semua yang kualami adalah dua Malaikat yang diutus oleh Rabbku untuk menyelamatkan aku dari tindakan keji sang sopir itu. Aku memuji Allah atas itu semua. Dan itulah yang menjadi sebab aku mendapatkan hidayah. Segala puji hanya untuk Allah.[]
Sumber: kisah islam