“Tahun Baru Pribumi ( Inlands Niewjaar ),” demikian orang Eropa dan pejabat Belanda di Hindia Belanda menyebut hari Lebaran. Mereka juga mempertimbangkan bulan Syawal selayaknya bulan Januari. Bulan penuh perayaan.
Orang Eropa dan pejabat Belanda di Hindia Belanda mengalami suasana berbeda selama hari Lebaran dan beberapa hari setelahnya di bulan Syawal. Penyebab orang-orang tempatan berkegiatan dan berpenampilan secara khusus.
BACA JUGA: Lebarannya Rasulullah SAW
Saat ini, orang muda dan kaum bawahan memberikan selamat kepada orang tua dan kaum atasannya. Kemudian mereka saling bermaafan atas kata silap dan perilaku, sembari bikin hajatan bareng.
“Di mana-mana perayaan pesta ini makan spesial, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck Hurgronje dalam “Surat Kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri”, 20 April 1904, termuat di Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV.
Snouck lupa kebiasaan saling berkunjung dan memakai pakaian baru pada hari Lebaran mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa. “Karena itu perayaan ini di pertemuan bangsa Eropa yang disebut ‘Tahun Baru Pribumi’,” tulis Snouck dalam Islam di Hindia Belanda .
Pada hari itu orang tempatan yang bekerja di kantor pemerintah punya waktu luang untuk saling bertandang, karena pemerintah kolonial menetapkan tanggal 1 untuk hari libur.
Orang-orang Eropa dan pejabat Hindia Belanda melihat hari Lebaran dirayakan oleh semua umat Islam. Baik oleh yang taat dan saleh oleh yang jarang ibadah jarang. Dari kelas warga jelata sampai kelas priayi dan pamongpraja bumiputra yang pada hari-hari biasa tak pernah kelihatan ibadah di hadapan khalayak.
Saat tiba hari Lebaran, para priayi dan pamongraja bumiputra harus turut membantu sembahyang id ke masjid bersama khalayak.
“Juga mereka yang hanya berpuasa satu hari atau lebih pada awal dan akhir bulan puasa, juga lebih banyak orang Jawa yang sama sekali tidak berpuasa, ikut juga merayakan pesta ini dengan tidak membelokanya ke orangutan orang saleh yang sangat patuh kepada hukum agamanya,” lanjut Snouck.
Saking luasnya perayaan hari Lebaran dan bulan Syawal di semua lapisan orang tempatan, pejabat Hindia Belanda jadi agak setuju dengan perayaan itu. Menurut sebagian besar mereka, perayaan Lebaran orang tempatan terlalu banyak makan alias boros. Lebih lagi jika perayaan itu digelar secara resmi oleh pamongpraja bumiputra seperti bupati.
Tuan Steinmetz, residen Semarang, dan De Wolff van Westerrode, pejabat Hindia Belanda, bersurat kepada Snouck yang menjadi pemerintah kolonial untuk menjalankan agama Islam, adat, dan orang bumiputra pada 1904.
Steinmetz dan De Wolff mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap perayaan Lebaran. Mereka bahkan menulis perayaan Lebaran sebagai sumber bencana ekonomi.
Steinmetz dan De Wolff mempertimbangkan para bupati telah menggunakan uang pemerintah kolonial untuk mengumpulkan-ragam perayaan Lebaran dengan mengundang pejabat berbangsa Belanda. Ini sangat merugikan kas pemerintah kolonial dan merendahkan pejabat Belanda jika diundang undangan perayaan Lebaran dari bupati.
Steinmetz dan De Wolff membahas dasar hukum untuk melepaskan perayaan resmi Lebaran. Menurut mereka, larangan itu harus sesuai dengan semangat Lembaran Tambahan No. 4043 dan No. 4062. Dua peraturan ini berlaku untuk pemerintah daerah.
Steinmetz dan De Wolff juga menyinggung perayaan Lebaran di kalangan warga jelata. Mereka berterima kasih agar para bupati ikut membantu perayaan Lebaran di teman jelata. Tujuannya memberantas pemborosan di kalangan warga jelata.
Snouck kontribusi dengan Steinmetz dan De Wolff untuk beberapa hal. Antara lain bahwa pemborosan harus dilawan dan diberantas sepenuhnya-sungguh. “Hendaknya mengubah cara kekhidmatan tidak meniadakan kesederhanaan,” tulis Snouck dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV .
Tapi Snouck membantah pendapat dengan Steinmetz dan De Wolff tentang perayaan Lebaran. Menurutnya merayakan perayaan Lebaran di semua lapisan orang tempatan bukan tindakan yang tepat.
BACA JUGA: Tuhan Tak Perlu Dibela, Benarkah?
“Lebaran memang harus menjadi perayaan keagamaan yang istimewa bagi pribumi,” tulis Snouck. Dan karena itu, Snouck malah menolak meminta Steinmetz, De Wolff, atau bisa saja meminta berkebangsaan Belanda di Hindia Belanda untuk memberikan penghormatan kepada penggemar tersebut.
Beda pendapat antara Snouck dengan Steinmetz dan De Wolff tentang perayaan Lebaran berakar dari cara pandang orang Belanda terhadap Islam.
Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia menyebut cara pandang Snouck terhadap Islam lebih berpihak pada peningkatan pola hubungan antara pemerintah kolonial dan umat Islam Hindia Belanda. Tak heran jika Snouck cukup mengundang dengan perayaan Lebaran.
Di kutub lain, Steinmetz dan De Wolff menjadi representasi cara lama orang Belanda dalam memandang Islam. “Yang sarat dengan sentimen permusuhan,” tulis Jajat. Dari sinilah kerisihan mereka berdua terhadap perayaan Lebaran menjadi mungkin. []
SUMBER: https://historia.id/agama/articles/lebaran-di-mata-kolonialis