Oleh: Rohmat Saputra
SEBERAPAPUN lamanya tinggal di dunia, kita bakal meninggalkannya. Seindah apapun rumah tinggal kita, tidak akan menjamin umur kita awet menikmatinya. Layaknya terminal. Ya, terminal. Sebagus dan seindah apapun itu terminal, kita tidak akan lama tinggal diterminal. Sebab terminal hanya persinggahan menuju akhir perjalanan kita, Akherat.
Kita bisa perhatikan orang-orang yang kaya tapi tidak sholeh. Mereka terkadang sulit membendung hasrat mengumpulkan banyak harta yang tidak begitu penting. Membeli sesuatu hanya karena gengsi dan gaya. Saling berlomba dengan kekayaan orang lain. Padahal sebanyak apapun yang dibeli, tidak akan bisa dibawa ke negeri akherat. Semua akan berhenti dan meninggalkan kita saat berada diliang lahat. Semua yang kita cintai bakal balik meninggalkan kita dan hanya satu saja yang menemani dengan setia. Yaitu amal shalih.
Semua harta tak ada yang dapat menolong kecuali harta yang digunakan djalan Allah. Harta itulah yang akan menyelamatkan pemiliknya dari adzab kubur dan jilatan api neraka.
Antara Abdurrahman bin auf, Qorun, dan Nabi Sulaiman
Dibandingkan kekayaan Qorun, Abdurrahman bin Auf tidak ada apa-apanya meski beliau termasuk dari salah satu sahabat yang terkenal kaya. Namun jalan kehinaan dan kemuliaan itu akan terlihat dari dua orang ini saat bagaimana mereka memanfaatkan harta. Abdurrahman bin Auf sangat sadar bahwa dunia hanya persinggahan sementara. Terminal yang suatu saat nanti semua manusia akan meninggalkannya.
Dari kesadaran itulah sahabat terkaya ini menjadikan harta hanya sebagai perantara saja agar Allah memperhatikan dirinya.
Walaupun begitu, ada rasa takut dalam hatinya kalau-kalau harta ini akan memberatkan dirinya saat dikumpulkan di padang mahsyar. Bahkan ia pernah mengeluh kepada salah seorang sahabat, “Kenapa saya susah sekali untuk miskin!”.
Pernah ia menangis tersedu-sedu karena nasib kayanya. Sebab sebelumnya ia mendapat kabar dari Rosul yang disampaikan salah seorang sahabat, bahwa Abdurrahman bin Auf akan menghadap Allah dalam keadaan merangkak.
Berbeda jauh 180 derajat dengan Qorun. Ia memandang dunia sebagai tempat satu-satunya mengumpulkan harta.
“Ini karena ilmu yang ada padaku” Ujar Qorun sombong.
Dengan kelihaian mencari dunia, ia sangat mudah mengumpulkan harta. Dunia dan perhiasannya benar-benar terbuka untuknya. Sampai-sampai kunci perbendaharaannya bila diangkat oleh para pengawal yang kuat, maka mereka tidak sanggup membawanya.
Tapi itu semua adalah karunia Allah sekaligus ujian kepadanya. Bukan karena ilmu ekonomi yang ia miliki. Ia terbutakan oleh dunia, dan lupa bahwa dunia hanyalah terminal yang suatu saat akan ia ditinggalkan.
Bila dibandingkan dengan hamba lainnya, kelebihan Qorun belum ada apa-apanya. Karena ada seorang hamba yang memiliki kelebihan dari apa yang dimiliki Qorun. Tidak hanya harta. Bahkan jin dan angin, Allah tundukkan kepada hamba sekaligus Nabi ini.
“Ini merupakan karunia Allah, sebagai ujian untukku, apakah aku akan bersyukur atau justru berbuat kufur,” ujar Nabi Sulaiman yang telah diabadikan dalam Firman-Nya.
Tidak hanya itu. Ia pun memiliki singgasana yang lantainya terbuat dari kaca. Sampai Balkis, seorang ratu, begitu takjub akan bangunan tersebut. Sebab singgasananya tidak akan ada yang mampu menandingi kemewahan bangunan itu.
Harta merupakan salah satu tipu daya berbungkus hiasan yang menjadi alat syetan, untuk menggoda manusia agar memandang dunia bukan lagi seperti terminal. Tapi menjadikan dunia seakan tempat tinggal selama-lamanya. Merasa nikmat setiap detiknya, selalu sedih jika lepas barang sebentar.
Bila sudah terjebak pada godaan ini, tak mudah lepas dari jeratannya. Ibarat ikan yang masuk pada jaring nelayan. Si ikan berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan badan kesana kemari. Bukannya lepas, tapi semakin ruwet saja, dan jaringnyapun membungkus kuat.
Jangan sampai nasib kita seperti ikan tersebut. hiduppun terjerat dalam jaring. Belum lagi saat nelayan datang. Ia akan mati karena akan keluar dari air.
Mari sama-sama jadikan dunia hanya sebagai terminal. Sebagus dan seindah apapun itu, semua akan kita tinggalkan. Lantas, apakah mungkin kita sibuk dan asyik terus-terusan pada sesuatu yang hal itu akan kita tinggalkan juga? Wallahu a’lam bisyyowab. []