Oleh: Abidlah Salfada B.
Mahasiswa semsester 4 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jurusan Pendidikan Agama Islam
PADA dasarnya riba adalah suatu tambahan nilai atau manfaat yang dari transaksi hutang-piutang maupun jual beli, yang mana tambahan tersebut merugikan salah satu pihak dan menguntungkan bagi pihak lainnya.
Berbagai eksploitasi timbul dalam setiap transaksi yang didasarkan dengan unsur-unsur ribawi. Misal saja dalam riba jahiliyyah, ketika seorang yang berhutang tidak mampu untuk melunasi tanggungan hutangnya dengan tepat waktu dan sudah jatuh tempo, maka dia akan dikenakan biaya tambahan sebagai akibat dari melewati batas waktunya tersebut.
Sudah pasti hal tersebut merupakan aksi kezaliman yang bukan saja amat dibenci manusia, namun juga oleh Allah SWT.
Hukum riba telah disepakati keharamannya oleh Jumhur ulama, baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakkhirin. Larangan riba ditemukan pada banyak ayat-ayat Qur’an maupun hadits Nabi saw. Pada umumnya, larangan yang bersumber dari Qur’an berupa larangan riba dalam hutang pihutang, sedangkan dalam hadits maka larangan riba dalam akad jual beli.
إِنَّٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٢٧٧ يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 277-279)
Pada dua ayat di atas, secara mutlak Allah melarang hamba-Nya untuk bertransaksi ribawi. Jamak diketahui, apabila Allah menginstruksikan atau melarang sesuatu, pasti ada hikmat at-tasyri’ yang terkandung di dalamnya. Allah adalah Dzat yang paling mengerti kondisi makhluk-Nya, baik secara fisik maupun kejiwaan. Dengan pondasi keyakinan seperti itu maka penulis sajikan dampak buruk riba dari segi sosial ekonomi sebagai berikut:
1. Riba dapat memicu konflik perpecahan antara individu dan kelompok
Riba akan merusak rasa solidaritas antara manusia satu dengan manusia lainnya. Prinsip awal hutang pihutang yang pada dasarnya untuk membantu sesama, justru dirusak menjadi cenderung pada model penindasan antara satu individu terhadap individu lainnya.
2. Sistem transaksi ribawi akan menjadikan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menjadi semakin curam
Bagi golongan elit, transaksi ribawi dipandang sebagai alat untuk menggandakan kekayaannya dengan praktis. Sebaliknya, bagi kalangan miskin, riba dirasa sebagai lintah yang terus mereduksi jumlah hartanya dari waktu ke waktu, mengingat jumlah bunga yang didapat akan terus meningkat apabila tidak sanggup membayar.
3. Riba pada dasarnya adalah bentuk pemerasan, bahkan bisa dikatakan sebagai pencurian
Mungkin bentuk pemerasan transaksi ribawi sendiri tidak dapat dilihat secara langsung, tapi disadari atau tidak, menerapkan suku bunga berlipat sama saja meminta orang untuk memberikan hartanya secara cuma-cuma.
4. Riba merupakan sumber pemasukan yang sama sekali tidak adil
Para pemungut riba memfungsikan uangnya untuk dihutangkan kepada orang lain, agar orang tersebut dapat mengembalikan hutangnya dengan jumlah yang berlipat dari jumah awal yang dipinjamkannya.
Sebagai manusia, tidak ada yang mengetahui bahkan menjamin bahwasanya usaha yang dijalankan oleh orang yang berhutang akan mengalami keberhasilan atau justru menemui kerugian. Dengan mendasarkan transaksi pada prinsip ribawi, orang sudah memastikan bahwa usaha orang yang dihutangi pasti untung –padahal semua masih probabilitas-.
5. Transaksi yang berdasar pada riba akan menimbulkan mental pemalas
Pihak yang meminjamkan uangnya untuk dibungakan dapat memperoleh tambahan uang setiap saat, baik dia sedang makan, istirahat, bersenda gurau, maupun semua aktifitas keseharinannya. Kondisi semacam ini berimplikasi kepada turunnya kreativitas, mobilitas, dan etos kerja kreditur karena telah merasa uangnya berlipat ganda pada setiap waktunya. Wallahua’lam. []