EKONOM senior Faisal Basri mengatakan bahwa industrialisasi yang digencarkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengalami kegagalan.
Faisal mengungkapkan, tingkat investasi di Indonesia terbilang tinggi dibandingkan negara-negara lain. Namun sayangnya, investasi tersebut tidak dikelola dengan baik belum lagi mayoritas diperuntukan untuk sektor konstruksi berupa bangunan, kantor, mall dan lain sebagainya yang menurutnya tidak berdampak pada sisi produksi. Sedangkan investasi terhadap mesin dan peralatan hanya 10-11% saja dari total investasi keseluruhan.
“Penggunaan investasi di Indonesia itu sudah boros, nggak bermutu, itu dia, ini investasi yang saya tunjukkan tadi PMTB itu kalau anda lihat mayoritas yang biru bentuknya apa? bangunan, building, kantorlah, macam-macam lah bangunan konstruksi, bangunan ini misalnya mall, itu makin banyak menjual barang impor,” jelasnya, Jumat (10/2/2023).
BACA JUGA:Â Jokowi Sebut Insan Pers Buka Harapan Orang Biasa Sepertinya Bisa Jadi Presiden
“Jadi investasi di bangunan untuk memperlancar barang impor masuk, ya ekonomi manfaatnya kecil lah yang manfaatnya besar dalam bentuk apa? mesin dan peralatan hampir pasti itu namanya industri, tapi tengok berapa sehingga bisa menghasilkan berbagai jenis barang yang nyata 10-11% aja,” lanjutnya.
Ia menilai Presiden Jokowi tidak mendorong terjadinya percepatan industrialisasi melainkan hanya berfokus pada penyelesaian proyek-proyek infrastruktur. Itulah kemudian yang menyebabkan rendahnya fasilitas dan modal industri di Indonesia.
“Pak Jokowi tidak meminta percepatan industrialisasi enggak, tapi semua proyek infrastruktur kelar sebelum dirinya lengser, jadi bangunan lagi kan. Pokoknya harus kelar, gitu. Industri memble bodo amat makanya Pak jokowi jarang sekali berbicara tentang visi industri, jarang, yang dia bicara adalah hilirisasi,” ujarnya.
Pernyataan Faisal ini terkait dengan permintaan Presiden beberapa waktu lalu agar jajarannya segera merampungkan proyek infrastruktur sebelum 2024, termasuk proyek ibu kota negara (IKN).
Selain itu, menurut Faisal penyebab kegagalan industrialisasi era Jokowi karena adalah enggannya perbankan menyalurkan kredit ke sektor produksi barang. Menurut Faisal, salah satu sektor jasa yang berkembang yakni perbankan, namun sayangnya sektor ini justru menyalurkan kembali jasanya pada jasa keuangan. Oleh karena itu, permodalan industri tidak berkembang.
Ia menilai, bank malah justru membantu menopang keuangan negara dengan menjadi pemain terbesar dalam pembelian surat utang negara ketimbang menyalurkan kredit ke masyarakat. Akibatnya
“Agak berat saya mengatakan enggak itu, saya tunjukkan lagi, biang keladi ini semua pemerintah. Nggak percaya ya? saya kan enggak mau fitnah ini saya tunjukkan jadi pemerintah utangnya kan makin banyak, kata Ibu Sri Mulyani aman, ya aman memang tapi lihat kelakuan pemerintah yang utangnya makin banyak itu siapa yang paling banyak membeli surat utang pemerintah itu? jelas bank. Ini sebelum krisis (2020 akibat Covid-19) bank beli biar daripada menyalurkan kredit beli surat utang pemerintah,” paparnya.
“Sebanyak 31,4% jadi hampir sepertiga surat utang pemerintah itu dibeli oleh bank boro-boro menyalurkan kredit apalagi nyalurin kredit ke industri ogah,” lanjutnya.
BACA JUGA:Â Fahri Hamzah Sebut Gaduh dalam Koalisi Ganggu Sisa Masa Jabatan Jokowi
Lebih lanjut, ia mengatakan ekonomi Indonesia makin sakit sejak banyaknya surat utang pemerintah yang tidak laku di masa pandemi. Akibatnya dibeli oleh Bank Indonesia melalui kesepakatan burden sharing. Menurutnya, ini semakin memperparah proporsi ekonomi yang mana separuh utang pemerintah diisi oleh bank sentral dan perbankan.
“Jadi dari jasa ke jasa kan, jasa keuangan ke jasa keuangan, nah mengkonfirmasi kualitas pertumbuhan kita. Menurut saya enggak salah sepenuhnya bank tapi salahnya pemerintah,” ujar Faisal.
Ia menilai kesalahan ini bersumber dari kesalahan pemerintah dalam melakukan penugasan pada bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dimana dalam praktiknya bank BUMN menyuntik dana kepada perusahaan yang tidak bisa membayar hutang dan membentuk konsorsium pada proyek-proyek infrastruktur.
“Bank tidak pernah disuruh untuk menyalurkan kredit buat industri jadi tidak salah sepenuhnya bank. Jadi salah di penugasannya,” pungkas Faisal. []
SUMBER: CNBC