MENURUT Ibnu Aqil Al-Hambali –rahimahullah- (salah seoarang ulama’ besar dari madzhab Hanabilah), harta yang diambil oleh seorang pejabat negara, baik dia seorang hakim atau yang lainnya ada empat jenis:
1). Suap (الرشوة)
Dan jenis ini ada dua macam: A). Suap yang diberikan kepadanya agar dia lebih cenderung untuk membela salah satu dari keduanya dalam menetapkan hukum tanpa kebenaran. Maka ini hukumnya haram, baik yang memberi atau yang diberi. B). Suap diberikan kepada seorang hakim agar menghukumi dengan benar dan memenuhi hak orang yang memberi. Maka ini hukumnya haram bagi hakim/qodhi, namun tidak haram bagi yang memberi.
2). Hadiah (الهدية)
Jenis ini juga ada dua macam: A). Hadiah yang diterima oleh seorang hakim sebelum dia memangku jabatannya, maka hukumnya boleh untuk dia terima. B). Hadiah yang diberikan setelah dia memangku jabatan, dan ini ada dua macam : I). Hadiah yang diberikan dari seorang yang tidak memiliki kaitan hukum yang sedang dia tangani sama sekali. Ini hukumnya makruh.II). Hadiah yang diberikan oleh seorang yang memiliki kaitan hukum yang sedang dia tangani, baik langsung ataupun tidak langsung. Maka ini haram.
BACA JUGA: Bolehkah Sedekah dari Harta Haram?
3). Upah (الأجرة)
Jika seorang hakim telah diupah oleh negara, haram baginya untuk mengambil upah dari pihak lain yang sedang dia tangani kasusnya dengan kesepakatan para ulama’. Adapun jika dia tidak diupah oleh negara, maka dalam salah riwayat (dari Imam Ahmad) boleh. Karena hal itu merupakan amalan mubah. Jika tanpa digaji, sangat sulit terwujud adanya hukum karena dia membutuhkan hal itu dan agar fokus dalam menangani berbagai kasus.
Sebagaimana orang yang mendapatkan wasiat untuk mengelola harta anak yatim dalam kondisi dia sangat fakir. Maka bolehnya baginya mengambil sedikit dari harta tersebut sekedar untuk menutup kebutuhan darurat hidupnya dengan cara yang ma’ruf.
4). Gaji dari baitul mal (الرزق من بيت المال)
Ada dua kemungkinan: Jika dia orang kaya, maka tidak ada kebutuhan untuk mengambil gaji dari baitul mal. Agar orang lain yang lebih berhak menerima, tidak terkurangi olehnya. Kemungkinan kedua, dia berhak menerima. Karena dia telah mencurahkan dirinya untuk perkara ini sebagaimana amil zakat atau petugas pajak.
Empat perincian di atas, didasarkan kepada masalah amil zakat dan penanggung jawab harta anak yatim. Allah telah membolehkan kepada amil zakat mal, untuk mengambil bagian darinya (zakat yang terkumpul). Allah berfirman:
و العاملين عليها
“….dan orang-orang yang mengurusi zakat…” [ QS. Al-Maidah : 60 ].
Dan telah melarang para pemungut zakat untuk mengambil hadiah karena pekerjaan mereka. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
BACA JUGA: Fitnah Harta
هلا جلس في بيت أبيه و أمه فينظرهل يهدى إليه أم لا ؟
“Tidakkah duduk di rumah bapak atau ibunya, maka lihatlah ! apakah dia akan diberi hadiah atau tidak ?”. [ HR. Al-Bukhari : 2597 dan Muslim : 26 ].
Hadits ini sebagai dalil, sesungguhnya apa yang dihadiahkan kepadanya di rumahnya dan bukan karena sebab pekerjaan/jabatannya, maka boleh baginya untuk menerimanya.
Adapun nadzir (penanggung jawab) harta anak yatim, maka Alloh memerintahkan kepadanya untuk menjaga diri jika dia termasuk seorang yang berkecukupan. Dan membolehkannya untuk memakan sebagian harta anak yatim dengan cara yang ma’ruf (baik) jika dia seorang yang fakir.
[Disarikan dengan sedikit tambahan dan pengurangan dari “Badai’ul Fawaid” karya Ibnul Qoyyim –rahimahullah- jilid : 3/636 terbitan Darul Hadits Kairo tahun 1323 H/2002 M ]. []
Facebook: Abdullah Al Jirani