Oleh : Sri Bandiyah
sribandiyah87@gmail.com
NAMANYA Farah. Gadis kelas empat SD itu telah lama menjadi yatim. Selain sekolah formal, ia juga nyantri di pondok tahfidz. Gadis pendiam, kesan itu melekat sejak pertama kali aku menjadi wali kelasnya.
Dalam hal pelajaran, Farah bukanlah siswa istimewa. Nilai-nilainya tidak pernah jauh dari KKM*. Barangkali, kesibukan di pondok membuatnya tak punya banyak waktu untuk belajar.
Dua puluh satu siswa kelas empat, Farah yang paling dewasa. Pujian seringkali kuberikan padanya. Kukatakan ia anak hebat dan mandiri. Bahkan kuacungkan jempol untuk kegigihannya berangkat sekolah dengan bersepeda sejauh dua belas kilo meter.
Ramadhan tahun 2015, menempatkan Farah pada posisi siswa spesial. Seorang siswa yang membuat guru sepertiku tak sanggup mengangkat wajah karena malu.
Saat itu ….
Ramadhan hari kedua puluh. Pagi jam enam dua puluh menit aku telah berdiri menyambut kedatangan siswa di pintu gerbang sekolah. Bukan karena rajin, tapi karena piket sepekan sekali. Tak lama kemudian, kulihat Farah memarkir sepeda. Perlahan ia mendekatiku, mengucap salam dan mencium tangan.
“Bu guru, nanti aku mau sodaqoh.” Tangannya terulur memberikan kresek hitam.
“Oya, taruh di meja saja ya ….” Tak kuperhatikan lagi wajah gadis yatim itu. Aku sibuk menulis buku absen guru.
Tradisi bersedekah di sekolah sudah sangat familiar. Terutama hari Jum’at. Akan ada lebih dari satu murid yang membagikan camilan untuk teman-temannya. Hari ini hari Jum’at, bulan Ramadhan pula. Pasti akan ada lebih dari satu siswa yang bersedekah.
******
Ada tiga kresek di meja. Semuanya berisi camilan. Kubuka satu kresek, nampak puding berwarna pelangi menempati wadah plastik. Cantik.
“Ini siapa yang sodaqoh?”
“Mbak Fitri Bu guru ….” Jawab beberapa anak serempak.
Plastik kresekke dua. Pizza mini berjejer. Warna orange dari irisan sosis berpadu hijau daun bawang dan warna putih keju membuat pizza mini itu eksotis.
“Pizza ini siapa yang sodaqoh?”
“Mbak Ame Bu guru ….”
Plastik terakhir kubuka. Bungkusan plastik kecil berisi kurma dua butir menyembul.
“Yang ini, pasti Mbak Farah yang sodaqoh ya?” tanyaku sambil tersenyum.
Tunggu! Sebelum kucampur camilan-camilan tadi, mataku menangkap kertas putih terselip di antara tumpukan kurma. Gegas kuambil kertas itu. Tulisan tegak bersambung tertata dengan rapi.
‘Bu guru maaf, jumlah sodaqohnya dua puluh. Pas dibagi untuk teman-teman. Saya tidak perlu dibagi. Untuk Bu guru besok insyaAllah saya berikan.’
Tertanda
_Farah_
Segera kubagikan sedekah anak-anak. Setiap anak mendapat satu pudding, satu pizza mini, dan satu plastik kecil berisi dua biji kurma. Kecuali Farah, tidak mendapat kurma yang ia bawa.
********
Hari berikutnya, setelah do’a pulang Farah menghampiriku.
“Ini kurma untuk Bu guru.” Wajah gadis penghafal Qur’an itu tersenyum malu.
Kuambil kurma yang ia ulurkan. Kuucap terimakasih dan seulas senyum termanis kuberikan padanya.
“Kenapa punya Bu guru ketinggalan?” tanyaku bercanda.
“Punya Bu guru baru aku dapat kemarin Maghrib,” ucapnya lirih sambil mencium tanganku dan pamit.
Hey! Apa maksud baru didapatkan kemarin Maghrib? Kesadaran itu terlambat. Farah telah mengayuh sepedanya meninggalkan sekolah.
********
Ya Allah … hamba malu …
Ya Rahman … mendadak diri ini tertampar.
“Farah sangat semangat mendengar hadis yang Ibu baca. Memberi makan orang berpuasa itu pahalanya sama dengan orang yang berpuasa. Makanya ia bertekad memberi ta’jil pada teman-temannya.”
“Karena ia tak mungkin membeli ta’jil, maka ia sisihkan kurma jatah dari pondok. Tiga kurma jatah ta’jil, Ia makan satu dan dua sisanya ia simpan. Nah, kemarin hari terakhir di pondok, ia minta ijin pada saya untuk tidak makan kurma saat berbuka. Katanya kurma itu untuk Bu Sri. Ia kagum dan bangga dengan Ibu.”
Penjelasan Bu Nyai saat silaturrahim membuatku tak dapat membendung air mata. masyaAllah …. []