MARI kita simak kisah pernikahan Uqail bin Abu Thalib dengan seorang wanita dari kalangan Bani Jasym. Seperti lazimnya upacara pernikahan, tamu- tamu berdatangan. Dan seperti lazimnya upacara pernikahan di masa sekarang, para tamu ketika itu memberi ucapan selamat sekaligus sebagai do’a.
“Semoga bahagia dan banyak anak,” kata para tamu kepada pengantin laki-laki.
Menerima ucapan selamat seperti itu, Uqail segera teringat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian ia berkata, “Jangan kalian mengatakan demikian, karena sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang hal tersebut.”
“Kalau demikian,” kata mereka, “apakah yang harus kami katakan, wahai Abu Zaid?”
“Katakanlah oleh kalian,” jawab Uqail. “Semoga Allah membarakahi Anda sekalian dan melimpahkan barakah kepada Anda. Demikian yang diperintahkan kepada kita.”
Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa yang paling penting untuk dicari dalam pernikahan bukan kebahagiaan. Yang paling penting justru barakah, konsep yang sangat se-ring terdengar tetapi tidak banyak diketahui artinya. Mendo’akan pengantin baru agar dapat mencapai pernikahan yang bahagia dan sekaligus banyak anak dilarang (makruh). Sebaliknya, sunnah bagi kita mendo’akan saudara kita yang menikah dengan do’a barakah. Mudah-mudahan pernikahan itu barakah bagi pengantinnya dan barakah atas pengantin-nya, yakni barakah pernikahan tersebut juga terasakan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Kalau begitu, apakah “bahagia dan banyak anak” merupakan kata yang tabu dalam pernikahan yang Islami? Bukan begitu. Melalui lisan suci Rasulullah SAW Islam justru meÓngingatkan kita agar tidak melupakan kriteria memilih istri agar dapat memperoleh kesenangan dan banyak anak.
“Kawinilah wanita yang subur rahimnya (waluud) dan pencinta,” sabda RasulullahSAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, An-Nasa’i dan Al- Hakim. “Sebab aku kelak berbanyak-banyak kepada umat-umat lain de-ngan kalian.”
Rasulullah SAW juga pernah menganjurkan, “Pilihlah yang masih gadis karena ia lebih manis mulutnya, lebih dalam kasih-sayangnya, lebih terbuka, dan lebih menginginkan kemudahan.”
Yang dimaksud dengan “mulut manis” adalah ucapannya, kata Abdul Hamid Kisyik. Adapun yang dimaksud dengan “lebih dalam kasih-sayangnya” adalah banyak melahir-kan anak, terbuka, dan polos.
Ketika seorang sahabat memberi tahu Rasulullah bahwa ia baru saja menikah dengan seorang janda, Rasulullah SAW mengatakan, “Mengapa tidak gadis yang ia dapat bermain denganmu, dan engkau dapat bermain dengannya, engkau menggigitnya dan ia menggigitmu?” (HR An-Nasa’i, shahih).
Sebagian sahabat Nabi memberi keterangan, Tetaplah kalian mengawini gadis-gadis, sebab mereka lebih manis mulutnya, lebih rapat rahimnya, lebih hangat vaginanya, lebih sedikit tipuannya, dan lebih rela dengan nafkah yang sedikit.
Keterangan sahabat ini senada dengan hadis Nabi yang mengingatkan:
“Kawinilah oleh kalian perawan, sebab perawan itu lebih segar mulutnya, lebih subur rahimnya, lebih hangat vagina-nya, dan lebih rela dengan nafkah yang sedikit,” (HR. Abu Na’im melalui Ibnu Umar r.a.. Periksa Mukhtarul Ahaadits).
Yang dimaksud dengan lebih rapat rahimya (antaqu ar-haman) adalah banyak melahirkan. Umar bin Khaththab menganjurkan, “Perbanyaklah anak karena kalian tidak tahu dari anak yang mana kalian mendapatkan rezeki.”
Anak yang barakah adalah rezeki akhirat sekaligus rezeki dunia. Kita tidak tahu anak yang mana yang paling besar membawa rezeki, sehingga bisa mengangkat kita kepada kebahagiaan akhirat.
Masih ada hadis-hadis mengenai kesenangan-kesenangan yang bisa diperoleh ketika menikah dan perlu dipertimbangkan ketika akan melangkah ke sana. Allah Swt. juga telah berfirman, Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepa-danya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum [30]: 21).
Tetapi ada yang unik. Kita dilarang mendo’akan orang yang menikah agar mendapat kebahagiaan dan banyak anak dalam pernikahannya. Kita diminta untuk mendo’akan me-reka semoga Allah membarakahi pengantin itu dan melim-pahkan barakah bagi mereka. Yang pertama, mendo’akan agar mereka menjadi suami istri yang penuh barakah, sehingga sekelilingnya ikut terkena barakahnya. Yang kedua, mendo’a-kan agar mereka mendapatkan barakah. Wallahu A’lam bisha-wab.
Mengapa kita disuruh mendo’akan dengan do’a barakah dan tidak dengan do’a banyak anak, padahal ada beberapa anjuran untuk memperbanyak anak? Sekali lagi, Allahu A’lam bishawab. []
Sumber: Kupinang dengan Hamdallah/Muhammad Fauzhiel Adhiem