JIKA ada band yang pernah begitu membuat saya kesengsem pengen banget nonton konsernya, ya cuma Dewa-19. Pada tahun 1997, sehabis kuliah hari Rabu sore, beberapa orang teman perempuan sekelas kasak-kusuk berniat liat Ahmad Dhani CS di stage di Bandung. Bandung deket lah ke Jatinangor. Salah seorang dari mereka menenteng Hai Klip Edisi Dewa. Majalah tematis itu kemudian hari sangat saya gandrungi. Rindu baca majalah.
Tahun itu, Dewa baru saja melepas “Pandawa Lima”. Ada Aksan di sini. Jadinya ga heran album itu jadi agak gelap karena nuansa jazz-nya. Dan apalagi kalau bukan “Kirana” yang paling tenar di anak-anak kuliahan, setenar “Kauhancurkan hatiku, hancurkan lagi…” di kalangan bocah-bocah ingusan 8 tahun kemudian.
Semua orang tampaknya berpikir kalau “Kirana” ditulis sama Dhani. Ternyata bukan. Erwin yang menggubahnya. Lirik lagu absurd sudah banyak ditulis, tapi bagi anak usia 18 tahun, Kirana laiknya lirik-lirik yang ditulis Katon untuk KLa namun lebih rumit.
Dhani emang jenius tapi Erwin juga hebat. Kangen juga ia ikut menulis. Dan beberapa lagu Dewa-19 lainnya, Dhani menulis di IG-nya, bukti musikalitas Erwin yang keren.
Di antara personil Dewa, menurut Dhani, Erwin yang paling tidak pernah ketinggalan shalat lima waktu. Saya, alhamdulillah, sepanjang baligh, belum pernah kesulitan menjalankan kewajiban ini, tapi membayangkan bagaimana begitu mahalnya shalat bagi anak band tertentu.
Reza, di tahun 2015, memilih meninggalkan Noah, yang memberinya separuh kehidupan, hanya karena tidak mau meninggalkan shalat. Kang Hari Mukti, semoga Allah SWT menempatkannya di tempat paling baik di sisi-Nya, suatu kali pernah mengatakan dalam ceramahnya depan Fakultas Sastra Unpad Jatinangor, di tahun 1997 juga, “Sebelum konser, saya meneriakkan salam, tapi detik berikutnya saya membuat orang jejingkrakan melupakan Allah…” Di era 80-an, tak ada anak muda yang tak kenal Kang Hari.
Orang hari ini mengingat Kang Hari dengan segala kebaikannya. Setelah tidak ada, yang layak dikenang dari sebagian besar manusia memang hanya kebaikannya. Seperti Dhani mengingat Erwin.
Tahun 1997 itu, sore itu saya tidak jadi nonton Dewa-19 di Bandung. Jatinangor terlalu indah untuk ditinggalkan. Walau hanya satu malam saja. []