Endang Saifuddin Anshari pendakwah yang memilili banyak prestasi. Boleh jadi, di antara prestasi terbesar dia adalah berupa karya bukunya yang berjudul “Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis ‘Sekular’ tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949”.
Tesis Bernilai
Endang Saifuddin Anshari (selanjutnya ditulis Esa) lahir di Bandung pada 28/10/1938. Dia putra dari KH Isa Anshari, tokoh pergerakan Islam yang sangat dikenal sebagai ‘Singa Podium’ dan dikenal pula sebagai seorang penulis yang tekun.
Semasa belajar di Sekolah Dasar dan SMP, di sore hari dia juga mengaji di Madrasah milik Persatuan Islam (PERSIS) di Bandung. Setelah tamat SMA, dia melanjutkan studi ke Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjadjaran, pada 1958–1961. Lalu, gelar MA diraihnya dari Kanada, pada 1976.
Di organisasi pergerakan Islam -skala pelajar dan mahasiswa-, Esa tercatat antara lain pernah menjabat sebagai Ketua Umum PW Pelajar Islam Indonesia (PII) Jabar, Ketua Departemen Pendidikan PB PII, Ketua Pendiri KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) Jawa Barat, anggota PP Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) dan Kepala Staf Sekjen IIFSA (International Islamic of Student Association).
Esa juga tercatat pernah mengajar di Universitas Padjadjaran Bandung dan di ITB. Sebagai cendekiawan, cukup luas pandangan keagamaan dan ilmu-ilmu sosial yang dia kuasai. Ini terlihat dari karya-karya tulisnya, antara lain: “Wawasan Islam”, “Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistim Islam”, “Ilmu, Filsafat, dan Agama”, “Agama dan Kebudayaan”, “Iman, ilmu, dan Amal”. “Kritik atas Faham dan Gerakan Pembaharuan Nurcholish Madjid”, “Islam dan Kristen di Indonesia”, “Kuliah Al-Islam” dan “Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis ‘Sekular’ tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949”.
Di antara karya-karya tulisnya, judul yang disebut terakhir itu termasuk yang paling penting. Buku itu berasal dari tesis yang telah berhasil dipertahankannya di Program Islamic Sudies di McGill University Montreal – Kanada.
Di buku itu, menurut Esa, Piagam Jakarta mempunyai makna penting. Negara RI sekarang ini, bukan hanya berdasarkan kepada Pembukaan UUD 18 Agustus 1945 saja, tapi juga berdasarkan kepada Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta. Dengan adanya Dekrit Presiden pada 05 Juli 1959 dan telah disetujui oleh DPR –yang merupakan100% hasil pilihan rakyat- pada 22 Juli 1959, maka, baik Piagam Jakarta maupun Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 menjadi dasar kepunyaan dan mengikat segenap partai dan masyarakat Indonesia.
Dari mana kesimpulan itu? Dari Dekrit Presiden yang disampaikan Presiden Soekarno pada 05 Juli 1959. Di situ ada bagian penting yang berbunyi: “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Alhasil, Esa memiliki prestasi yang bernilai tinggi. Tapi, hal ini tak terlalu mengherankan bagi Hamka. Mengapa? Sebab, Esa memang tumbuh-kembang dalam asuhan seorang pejuang kaliber nasional yang bernama KH Isa Anshari. Khusus tentang ini, Hamka mengatakan, “Saya teringat di sekitar 1956-1958. Di rumah Isa Anshari di Bandung, kerap kami para anggota Konstituate dari Fraksi Masyumi berkumpul berdiskusi tentang perjuangan yang dihadapi, cita-cita yang ditegakkan, dan suasana sulit yang menentang. Dalam suasana demikian itulah Esa tumbuh sebagai pelajar sekolah lanjutan yang aktif dengan organisasinya, PII (Pelajar Islam Indonesia)”.
Esa, lanjut Hamka, “Dalam umur yang masih muda telah menghayati apa yang sedang diperjuangkan saat itu dan dia menyaksikan suka-duka yang dialami oleh orang-tuanya. Oleh karena itu, saya tak heran jika dia menulis karangan yang berjudul ‘Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekular tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949”.
Masih kata Hamka, Esa “Bukan hanya menghayati, tapi telah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap maudhu’ yang telah dipilihnya. Dia menyaksikan, menyelidiki situasi perjuangan yang terjadi di sekitar 22 tahun yang lalu (catatan: Hamka bicara tentang ini pada 1981, pen.), yang telah pula ditulis oleh berbagai penulis dari berbagai latar belakang faham politik. Dan dia berani mengambil kesimpulan sesuai dengan predikat seorang sarjana yang menginginkan objektivitas. Tapi lebih dari itu, dari hasil studinya terbukti bahwa Esa -selain sebagai sarjana- dia juga mewarisi ruh jihad yang dirintis oleh generasi yang telah lalu”.
Sementara, bagi Mohammad Roem, Esa adalah “Pengarang muda yang dinamis”. Dia “Berjasa dengan penulisan buku ‘Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekular tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949”.
“Dengan teliti serta secara ilmiah dan historis,“ lanjut Mohammad Roem, “Sarjana yang muda ini menelusuri perkembangan UUD 1945 dan tempat Piagam Jakarta di dalamnya. Dia memberikan latar belakang pertumbuhan Pancasila, terutama dalam pembicaraan di berbagai Badan yang berwenang membicarakan Undang-undang Dasar”.
Buku itu menarik dan penulisnya memang fenomenal. Esa, simpul Mohammad Roem, “Benar-benar memperkaya perpustakaan Indonesia tentang bidang yang penting yaitu UUD Negara”.
Adapun karya Esa yang lain sebagian dicatat oleh situs salmanitb.com edisi 06/0/2009, yaitu berupa koleksi Ceramah Endang Saifuddin Anshari dalam bentuk CD MP3. Isinya, 19 ceramah Esa dari tahun 1976 hingga 1985. Beberapa tema yang menarik di antaranya adalah “Perbandingan Agama”, “Filsafat Islam”, dan “Fitrah Manusia”.
Masih ‘Ada’
Di usia menjelang 58 tahun –yaitu pada 17/08/1996- Esa wafat di Bandung. Memang, Endang Saifuddin Anshari telah lama pergi. Tapi, berbagai ‘warisan’-nya -terutama yang berbentuk buku- akan membuatnya terasa masih bersama kita, memberi inspirasi untuk terus berjuang. []