REBO Wekasan populer di sebagian Muslim Indonesia sebagai hari yang teramat sial. Rabu di akhir bulan Safar ini dianggap sial didasarkan pada keterangan sebagian ulama tasawuf yang konon melihat turunnya ribuan bala’ (musibah) pada hari tersebut.
Keterangan tersebut akhirnya dianggap sebagai kebenaran oleh sebagian kalangan sehingga untuk menepis bala’ tersebut kemudian dilakukan beberapa adat istiadat yang dianggap ampuh untuk menanggulanginya.
BACA JUGA: Soal Rebo Wekasan, Ini Penjelasan PBNU
Dari sudut pandang aqidah, keyakinan seperti itu sebenarnya justru membuka pintu bala’ itu sendiri. Sebab Allah SWT memang menyesuaikan rahmat atas seorang hamba sesuai dengan prasangka hamba itu sendiri. Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi “Aku sesuai persangkaan hambaku tentang diriku.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Berdasarkan hadits itu, daripada meyakini hari tersebut sebagai hari sial, kenapa kita tidak meyakininya sebagai hari penuh berkah?
Meyakini hari Rabu sebagai hari berkah justru punya landasan aqidah yang kuat. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa hari Rabu adalah hari di mana Allah SWT menciptakan nur (cahaya) alam semesta.
Dari Abu Hurairah, ia telah berkata: Rasulullah SAW memegang tanganku kemudian berkata: “Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi telah menciptakan tanah (bumi) pada hari Sabtu, menciptakan padanya gunung-gunung hari Ahad, menciptakan pohon pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang tidak disenangi pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, dan menyebarkan binatang padanya hari Kamis, dan menciptakan Adam alaihissalam setelah Ashar pada hari Jum’at pada akhir penciptaan pada akhir waktu dari waktu-waktu Jum’at antara Ashar hingga malam.” (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, hal 246)
BACA JUGA: Benarkah Hari Sial Ada Dalam Islam?
Di hadits sahih lainnya, seperti diriwayatkan Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, justru hari Rabu adalah hari di mana doa Nabi dikabulkan setelah sebelumnya berdoa mulai senin di masjid al-Fath. Akhirnya, Sahabat Jabir bin Abdullah apabila mempunyai perkara penting beliau berdoa di hari Rabu di antara shalat Dhuhur dan Ashar, yang dia buktikan itu sebagai waktu mustajabah.
Dari Abdurrahman bin Ka’ab, dia berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah berdoa di masjid ini, masjid al-Fath, pada hari Senin, Selasa dan Rabu, kemudian dikabulkan di hari Rabu di antara waktu dua Shalat (Dhuhur dan Ashar)”. Jabir Berkata: “Tak pernah terjadi hal yang sangat penting bagiku yang aku sengaja menunggu waktu itu kemudian aku berdoa kepada Allah saat itu di antara dua shalat pada hari Rabu, kecuali setahuku pasti dikabulkan.” (al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, halaman 246)
Keistimewaan hari Rabu sebagaimana disebutkan di atas tak hanya berlaku pada tanggal tertentu tetapi berlaku sepanjang masa setiap minggunya, tak terkecuali hari Rabu terakhir bulan Shafar.
Terkait dengan mukasyafah (penerawangan) sebagian tokoh Tasawuf bahwa hari Rebo Wekasan merupakan hari buntung, maka perlu diketahui bahwa tokoh Tasawuf tak seluruhnya meyakini demikian.
Sebagian justru mengatakan bahwa hari Rabu secara umum adalah hari untung sebab penuh berkah. Imam al-Hafidz as-Sakhawi as-Syafi’i menceritakan tentang orang-orang shalih yang beliau temui.
“Saya dengar dari sebagian ulama saleh yang kami temui, ia berkata: Hari rabu mengadu kepada Allah tentang anggapan sial orang-orang terhadapnya, maka Allah menganugerahkan bahwa apapun yang dimulai di hari Rabu, maka pasti akan sempurna.” (as-Sakhawi, al-Maqâshid al-Hasanah, juz I, halaman 575).
Berdasarkan mukasyafah positif di atas tentang hari Rabu yang ternyata membawa keberkahan, maka banyak kita dapati para kyai di pesantren memulai kegiatan belajar mengajar di hari Rabu. Sumber cerita Imam as-Sakhawi tersebut jelas bukan hadits sebab tak ada hadits yang berbunyi demikian sehingga pasti dari hasil mukasyafah beberapa waliyullah juga. Jadi, daripada memilih hasil mukasyafah yang hanya berpotensi membuat kita betul-betul sial sebab meyakini adanya kesialan, tentu lebih baik kita memilih mukasyafah yang berkata sebaliknya sehingga Allah akan mewujudkan anggapan positif kita itu menjadi kenyataan, sesuai hadits qudsi di atas. Kisah bahwa hari Rabu sebagai hari sial bisa dibilang “telah dicabut” dengan kisah ini.
Terlepas dari kisah-kisah para wali itu, memilih pesan yang berisi hal-hal positif adalah dianjurkan dalam syariat sebab Nabi kita tak menyukai tathayyur (mengikuti pertanda sial) dan tasya’um (meyakini sesuatu sebagai pembawa sial). Di masa Jahiliyah, banyak sekali tathayyur dan tasya’um ini, dan beliau melawan itu semua. Beliau mengajarkan umat Islam untuk ber-tafa’ul, yakni memberi kata-kata positif yang diharapkan terwujud. Dalam hadits sahih dijelaskan:
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada pertanda sial dan yang paling baik justru al-fa’l”. Mereka berkata: “Apakah al-fa’l itu?”. Rasul bersabda: “Kalimat yang baik yang kalian dengar”. (HR. Bukhari)
Inilah semangat yang dibawakan oleh Rasulullah untuk melawan dugaan-dugaan yang negatif menjadi optimisme dengan kata-kata yang baik (al-fa’l). Maka jadilah bagian dari perubahan dengan menyebarkan pesan positif ini. Rabu buntung itu dulu, sekarang waktunya diyakini bahwa Rabu itu hari untung. Wallahu a’lam. []
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember/ NU.OR.ID