DINAR dan dirham merupakan salah satu nilai tukar uang yang telah lama digunakan. Kini, keduanya kembali populer di kalangan masyarakat, bukan hanya di Timur tengah tapi juga di berbagai penjuru dunia.
Berdasarkan catatan sejarah, ada beberapa fakta menarik terkait ‘mata uang’ yang digunakan pada masa Rasulullah SAW tersebut. Apa saja? Inilah ulasannya.
BACA JUGA: Nabi Musa dan Kantong Berisi 1000 Dinar
Nilainya cenderung stabil.
Para ahli sejarah mencatat dinar yang nilai intrinsiknya itu berupa emas, membuat nilainya stabil dengan alat tukar lainnya. Tidak ada istilah atau fenomena inflasi dan deflasi pada masa Nabi menggunakannya sebagai alat tukar. Buktinya, ketika masa Rasulullah SAW, nilai seekor kambing berkisar 1 dinar dan nilai tersebut masih sama dengan nilainya di masa sekarang, yakni sekitar 2 jutaaan atau lebih.
Emas sebagai alat tukar
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation, seorang ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, fungsi uang adalah sebagai alat untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran tersebut.
Ketika fungsi uang telah berubah dari esensi dasarnya, akan terjadinya inflasi dan deflasi. Namun, itu tidak berlaku ketika emas yang menjadi alat tukarnya. Itulah yang terjadi pada dinar dan dirham yang ‘berbahan dasar’ emas.
Asalnya dari Romawi dan Persia
Transaksi ekonomi bangsa Arab sebelum mengenal dan menggunakan emas adalah barter. Emas, dalam konteks ini dinar dan dirham, merupakan mata uang miliki bangsa Romawi dan Persia.
Kata dinar sendiri berasal dari bahasa Romawi, yakni denarius, sedangkan dirham berasal dari bahasa Persia, yakni drachma. Beredarnya dirham dan dinar di Jazirah Arab dibawa oleh para pedagang Arab yang berdagang di Syam (di bawah pengaruh Romawi) dan Yaman (di bawah pengaruh Persia). Sebelumnya, bangsa Arab berdagang secara barter dan tidak pernah memproduksi mata uang sendiri.
Digunakan sebagai mata uang pada masa Nabi Muhammad SAW
Bangsa Arab mengadopsi dinar dan dirham sebagai sistem mata uang mereka dari Syam dan Yaman. Hal ini berlangsung hingga zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW, selain menetapkan dirham dan dinar sabagi alat tukar yang sah dalam perniagaan, juga menstandarkan tiga jenis dirham yang beredar kala itu menjadi satu jenis dirham, yakni dirham 14 qirat.
Dalam proses penimbangan bobot dinar dan dirham itu, Nabi Muhammad SAW dibantu oleh seorang sahabatnya, yakni Arqam bin Abi Arqam. Dia adalah seorang ahli tempa emas dan perak pada masa itu.
Pada masa Umar bin Khatab, ia menegaskan perihal timbangan atau bobot berat emas dan perak, yakni tujuh dinar bobot atau nilainya setara dengan 10 dirham. Selain itu, Umar pun memerintahkan agar dirham dan dinar pada masa itu diberi tulisan hamdalah dan Muhammad Rasulullah.
Dinar Pertama dalam Pemerintahan Islam
Dinar pertama milik pemerintahan Islam baru lahir ketika masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Tepatnya, sekitar 50 tahun pascawafatnya Nabi Muhammad SAW. Adapun bobot atau berat dinar Abdul Malik bin Marwan mengacu pada solidus, yakni mata uang Romawi Byzantium yang lazim beredar saat itu. Ia tidak membuatnya berdasarkan standar mitsqol yang biasa digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Digunakan untuk menghitung nishab zakat
Karena nilainya tetap, dinar dan dirham, selain digunakan untuk melakukan transaksi jual-beli, dipakai pula untuk menunaikan zakat. Imam Hanafi, pernah berkata, “Bahwa ukuran nisab zakat yang disepakati ulama, bagi emas adalah 20 mitsqal dan telah mencapai satu haul (satu tahun) dan bagi perak adalah 200 dirham.”
Imam Asy-Syafii dalam Kitab Al-Umm juga pernah berkata, “Rabi meriwayatkan bahwasannya Imam Asy-Syafii berkata, tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasannya dalam zakat emas itu adalah 20 mitsqal (dinar).”
BACA JUGA: Syekh Al Banjari tentang Dinar Dirham dan Zakatnya
Imam Al Ghazali berkata, “Di antara nikmat Allah SWT adalah penciptaan dinar dan dirham dan dengan keduanya tegaklah dunia. Keduanya adalah batu yang tiada manfaat dalam jenisnya, tapi manusia sangat membutuhkan kepada keduanya.” []
SUMBER: REPUBLIKA