Oleh: Muhamad Ridwan
Mahasiswa STAIPI Bandung, Penulis Tinggal di Bandung, rizkikain@gmail.com
Di era teknologi komunikasi yang modern ini—dengan karakteristiknya yang mudah, praktis, cepat, dan menjangkau banyak orang—arus informasi semakin deras. Media sosial adalah salah satu sarana yang paling banyak dipakai untuk menyebarkan berita, ilmu, opini, propaganda, dan sebagainya. Di Facebook, Instagram, Whatsapp, dan sebagainya masyarakat diberi ruang untuk berkomentar tentang suatu informasi dan saling menimpali satu sama lain antara yang pro dengan yang kontra. Keadaan ini membuka pintu perdebatan secara lebar.
Banyak yang terpancing untuk masuk ke dalamnya meski tak memiliki kapasitas dan otoritas demi mempertahankan dan membela sesuatu yang menurutnya benar atau sekadar unjuk diri serta hasrat mengalahkan dan menjatuhkan yang lain, tanpa peduli lawannya itu adalah merupakan sesama keluarga, saudara, ataupun teman.Menurut Islam, debat diantara orang awam yang mana secara istilah disebut sebagai debat kusir ini adalah merupakan suatu perbuatan yang tercela.
Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam Khuluq al-Muslim mengatakan bahwa Islam memandang suatu pembicaraan dapat terpelihara dari hawa nafsu serta kurangnya berpikir dan pertimbangan (terburu-buru) adalah dengan adanya larangan berdebat. Oleh karena itu, Islam menutup rapat-rapat pintu perdebatan baik mengenai kebenaran ataupun kebatilan. Karena di dalam perdebatan terjadi sesuatu yang sangat menekan jiwa, mendorong perasaan untuk mengalahkan lawan bicara, dan membuat orang suka menyerang orang lain dengan berbagai macam perkataan.
Orang yang berdebat lebih mementingkan “kemenangan” daripada menunjukkan kebenaran. Watak gemar menentang dan mementingkan diri sendiri menonjol dalam bentuk yang sangat buruk, sehingga dalam perdebatan tidak ada tempat atau kesempatan untuk menjelaskan persoalan ataupun ketenangan.
Menurut ulama produktif asal Mesir ini, Islam memerintahkan orang supaya menjauhkan diri dari perdebatan seperti itu, karena Islam memandangnya sebagai bahaya yang dapat merusak keselamatan agama dan keutamaan budi pekerti.Rasul Saw. bersabda:
“Barangsiapa meninggalkan perdebatan dalam keadaan keliru, dibuatkan rumah di pinggir surga, dan yang meninggalkan perdebatan dalam keadaan sebagai pihak yang benar dibuatkan rumah di tengah surga. Sedang yang berbudi pekerti baik dibuatkan rumah di surga bagian atas.” (Abu Dawud).
Guru dari Syaikh Yusuf al-Qaradhawi ini mewanti-wanti juga mengenai kemampuan berbicara yang kadang-kadang mendorong orang yang bersangkutan gemar berselisih atau bertengkar dengan orang yang berilmumaupun yang bodoh, sekadar menuruti selera nafsu mengejar kemenangan, mengalahkan lawannya, dan tidak jemu-jemunya berbuat seperti itu.Perdebatan yang menyangkut orang lain niscaya akan melahirkan keburukan; bila menyangkut agama niscaya menodai kebagusan dan menghilangkan kewibawaannya.Islam sangat membenci orang-orang yang cerewet dan ringan mulut seperti mereka itu.Rasul saw. bersabda:
“Orang yang paling tidak disukai Allah ialah orang yang paling keras melancarkan permusuhan.” (al-Bukhari).
Beliau Saw. juga berkata:
“Suatu kaum yang telah memperoleh hidayah tidak akan sesat kecuali setelah mereka terlibat dalam perdebatan.” (at-Tirmidzi).
Katanya lagi, orang yang suka melibatkan diri dalam perdebatan seperti itu lidahnya tidak mau berhenti pada satu batas. Ia selalu ingin berbicara dan ingin terus-menerus bersaing untuk membanggakan diri. Hal pertama yang paling penting baginya adalah kata-kata, sedangkan makna dan artinya dinomorduakan. Sedangkan tujuan yang mulia mungkin sekali olehnya ditempatkan paling belakangan, atau barangkali yang terpenting baginya adalah berada di tengah-tengah hiruk-pikuknya perdebatan itu sendiri.
Ulama penyeru persatuan umat Islam ini menjelaskan bahwa perdebatan mengenai soal-soal agama, politik, ilmu pengetahuan, dan lain-lain yang dilakukan oleh orang-orang yang suka membanggakan diri dan selalu ingin unggul dalam ucapan niscaya akan mengakibatkan rusaknya agama, merusak kehidupan politik, ilmu pengetahuan dan adab. Boleh jadi perdebatan terkutuk seperti yang mereka lakukan itulah yang mengakibatkan hancurnya peradaban, munculnya berbagai madzhab fikih, dan lahirnya sekte-sekte atau golongan-golongan yang terpecah belah.
Menurutnya, perdebatan bukanlah penelitian atau pembahasan yang sehat dan bukan pula usaha memperoleh kebenaran dengan cara yang semestinya. Dalam sebuah riwayat hadits tentang beberapa orang sahabat Nabi Saw. dikatakan:
Di saat kami sedang berdebat mengenai soal agama, datang Rasulullah saw. kepada kami. Beliau marah sekali, belum pernah kami melihat beliau marah seperti ini. Kami beranjak hendak bubar, namun beliau segera berkata:
‘Hai umat Muhammad, hati-hatilah! Orang-orang sebelum kalian dahulu binasa karena perbuatan seperti itu. Tinggalkan perdebatan. Karena orang beriman tidak patut berdebat! Tinggalkan perdebatan, karena orang yang berdebat jelas akan memperoleh kerugian! Tinggalkan perdebatan, karena perdebatan mendatangkan dosa bagi orang selagi ia berdebat! Pada hari kiamat aku tidak akan memberi syafaat kepada orang yang gemar berdebat! Tinggalkan perdebatan, kujamin tiga buah rumah di dalam surga: di taman-tamannya, di tengahnya, dan yang di bagian atasnya tersedia bagi orang yang menjauhkan diri dari perdebatan dalam keadaan ia benar! Tinggalkan perdebatan, karena soal; pertama yang aku dilarang oleh Tuhanku sesudah melarang penyembahan berhala ialah perdebatan.” (Ath-Thabrani) (Syaikh Muhammad al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, Kairo: Dar ar-Rayan li at-Turats, 1987, h. 83-85).
Perdebatan yang tercelatidaklah sama dengan diskusi yang dipraktikkan oleh para ulama dengan tujuan untuk mencari kebenaran. Seseorang yang ingin melakukan diskusi mesti mengetahui ilmu dan adabnya, metode yang tepat, tempat dan waktu yang sesuai, dan menguasai topik. Fenomena maraknya debat kusir di media sosial ini sebenarnya adalah indikasi dari krisis adab. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengenal kapasitas dirinya sendiri serta tempat yang tepat sehingga dengan gegabah beradu argumen bermodal ilmu yang minim dan prasangka di area publik. Mereka memperbincangkan masalah-masalah yang tidak dikuasai, yang mana semestinya hanya dibahas oleh ahlinya.
Otoritas dan adab dilangkahi dan tidak dihormati dengan dalih kebebasan atau kemerdekaan berpendapat. Mereka juga tidak sadar bahwa di media sosial lebih rentan terjadi kesalahpahaman dibanding dengan komunikasi tatap muka secara langsung.
Adapun perdebatan hanya akan menyebabkan ketidakenakan, perselisihan,perkelahian, permusuhan, dan perpecahan antar sesama Muslim. Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara, dilarang saling mencaci, saling berburuk sangka, saling menyakiti, dan saling menjatuhkan. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (Surat al-Hujurat 10).
Oleh karena itu, seseorang mesti bijak dan menahan diri saat berhadapan dengan sesuatu yang bertentangan dengan pandangan pribadinya, tidak bersikap terlalu reaksioner, serta tidak tergesa-gesa memvonis dan membantah. Jika ingin mendebat, ia mesti tahu diri dengan mengukur kapasitasnya dan menghormati otoritas.
Perlu diketahui pula bahwa terdapat hal-hal yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Banyak hal-hal sepele yang tabiatnya memang pasti mengandung perbedaan persepsi dan asumsi sehingga bersikap keras dan intoleran dalam masalah tersebut serta memperlakukannya seolah perkara pokok yang prinsipil adalah merupakan kekeliruan sekaligus tidak beradab.
Kita pun perlu berlapang dada untuk mengalah meskipun kita benar jika sekiranya perdebatan terus dilanjutkan malah akan merusak hubungan persahabatan dan persaudaraan. Karena bagaimanapun para ulama terdahulu telah memberikan teladan bahwa persatuan lebih utama daripada sekadar menang adu argumen. Wallahu a’lam. []