Oleh: Newisha Alifa
Penulis tinggal di Bekasi
UNTUK kesekian kalinya, tanah air kembali dibuat heboh dengan kabar seorang selebriti yang melepas jilbabnya, setelah kurang lebih setahun lalu memutuskan untuk mengenakan jilbab.
Berbagai reaksi terkait hal ini, muncul ke permukaan. Sebagian orang menghakimi dengan sadis. Sebagian lagi menunjukkan ekspresi kecewa seraya memanjatkan doa agar hidayah kembali terpeluk oleh sang figur masyarakat. Dan mirisnya lagi, ada juga yang mendukung keputusan tersebut.
Sejatinya, kasus pasang-lepas jilbab itu tak hanya sering terjadi di lingkungan artis. Kalau kita mau lebih peka, tentu di sekitar kita pun hal tersebut kerap terjadi.
Sebut saja, mereka yang hanya menutup auratnya saat pergi ke sekolah, kampus, kantor. Untuk kemudian di kehidupan sehari-hari seperti ke warung, ke mall, ke rumah tetangga atau teman, merasa wajar-wajar saja jika tidak berhijab. Seolah-olah kewajiban berhijab hanya berlaku di tempat-tempat resmi saja.
Lagi, kalau kita peka.
Esensi berhijab kembali dipertanyakan ketika dalam kehidupan sehari-hari seseorang telah berhijab, namun tetap memasang atau meng-upload foto tanpa hijabnya di media sosial.
Saya pernah mengingatkan seorang teman ketika memasang fotonya yang tidak berjilbab di salah satu aplikasi chat. Lantas dia menjawab, bahwa friendlist-nya perempuan semua, makanya dia berani pasang foto tanpa hijab. Tapi kepikiran nggak, kalo bisa saja satu dari beberapa teman perempuannya tadi, iseng menyimpan fotonya tersebut? Dan bukannya tidak mungkin atas alasan tertentu, suatu hari temannya tadi tidak amanah dan menyebarluaskan foto tanpa hijabnya?
Keputusan berhijab seyogyanya disertai dengan pertimbangan yang matang dan kesadaran yang paripurna bahwa hal tersebut adalah satu dari sekian banyak kewajiban seorang muslimah yang harus dipenuhi.
Tak hanya itu, keputusan berjilbab sejatinya menguji tingkat kelabilan/kedewasaan seseorang. Tentang seberapa dalam ia ‘sudah memahami’ bahwa hal tersebut memang suatu kewajiban dan harus jadi bagian dari prinsip hidup yang ia jaga. Sebab berjilbab, bukan cuma perkara menutup kepala dengan sehelai kain. Menghijabi tubuh adalah salah satu bentuk ekspresi ketaatan seorang hamba pada Rabb-nya.
Dan yang terakhir, perkara hidayah tentu tak bisa kita lepaskan terkait kasus satu ini. Tersebab berhijab adalah bagian dari ibadah yang ditampakkan secara fisik, sekaligus terpatri sebagai prinsip hidup.
Jangankan berhijab, bukankah sudah sering kita mendengar kisah seorang lelaki alim yang pada akhirnya terjerat 3 dosa besar yakni; meminum khamr, berzina dan membunuh?
Terkadang, seseorang dengan kadar keilmuan yang sudah tinggi pun bisa saja tergelincir pada lembah kemaksiatan. Bukan karena dia tak paham ilmunya, bukan. Tapi karena hidayah itu sedang atau sudah terlepas dari dalam dirinya.
Untuk itu pada akhirnya kita kembali pada, “Hidayah itu mutlak hak prerogatif Allah”. Kalau Allah sudah berkehendak menurunkan hidayah pada seseorang, maka tak ada satu pun makhluk bumi maupun langit yang mampu menyesatkannya. Pun sebaliknya, jika Allah sudah mencabut hidayah itu, takkan kita temukan satu makhluk pun di semesta ini yang mampu meyakinkan sebuah kebenaran padanya.
Wallahu A’lam Bisshowab. []