Oleh: Furqonuddin Ramdhani
Alumnus Jurusan Teknik Elektro, UGM Yogyakarta
TERKAIT dengan naiknya harga harga BBM di indonesia (Pertalite naik 200 rupiah), teringatlah saya dengan film berjudul syriana (2005) yang dibintangi oleh George clooney. Film ini menarik untuk ditonton karena bercerita mengenai sepak terjang perusahaan-perusahaan minyak besar dunia khususnya di timur tengah. Buku yang mungkin menarik untuk disimak terkait dengan film ini juga adalah “Confessions of an Economic Hit Man” karangan John Perkins.
Selama ini mungkin jarang sekali film-film hollywood yang menggambarkan kebusukan dedengkot kapitalisme, yaitu amerika. Yang sering kita jumpai biasanya justru film-film yang menutup-nutupi kebobrokan amerika seperti film Tears of the sun, Black hawk down, atau bahkan rambo sekalipun, dll. Tapi kita bisa melihat ada kejujuran di film Syriana. Kejujuran yang mungkin hanya dianggap sebuah film semata (tanpa fakta) karena sudah terlalu banyak kebohongan diteriakan selama ini. Seperti dikatakan Napoleon, katakanlah kebohongan seribu kali maka ia akan menjadi kebenaran.
Syriana adalah sebuah film tentang suatu negeri (fiktif) yang kaya akan minyak, dipimpin seorang raja yang sudah tua dan memiliki dua orang putra (keluarga al-Subaai). Minyak di negeri tersebut selama ini dikelola oleh perusahaan minyak raksasa Amerika, connex, yang nantinya akan melakukan merger dengan Killen (diasosiasikan dengan Exxon yang merger dengan Mobil menjadi Exon Mobil), mereka mereguk banyak keuntungan dari hasil penghisapan minyak di negeri tersebut.
Putera sulung raja, pangeran Nasir, menyadari bahwa ketersediaan minyak tidak akan selamanya oleh karena itu dia ingin melepaskan negerinya dari ketergantungan ekonomi terhadap amerika kemudian menggunakan keuntungan dari hasil minyak untuk pembangunan perekonomian di negeriya. Dia pun menginginkan reformasi di negerinya secara demokratis untuk menggantikan pemerintahan status quo ayahnya yang didukung oleh kepentingan Amerika.
Pangeran Nasir cukup cerdas melihat bahwa kerjasama dengan amerika adalah kerjasama yang lebih tepat perampokan sehingga dia kemudian memilih untuk bekerjasama dengan china dan rusia yang menjajnjikan kerjasama yang lebih fair. tapi hal ini tentu saja tidak dibiarkan oleh para kapitalis yang telah lama bercokol disana. Mereka kemudian melakukan upaya-upaya agar kepentingannya disana tetap bisa terjaga keberlangsungannya.
Adalah adik dari Pangeran Nasir yang merupakan putra kedua dari sang raja, dia merupakan pangeran yang dungu, tidak memiliki kemampuan mengelola negara, pangeran inilah yang kemudia dengan segala cara oleh para kapitalis dan militer amerika diproyeksikan untuk menjadi raja berikutnya, yang akan menjaga agar mereka tetap dapat menghisap kekayaan minyak di negara tersebut.
Pangeran Nasir pun dibunuh oleh militer Amerika ketika dalam iring-iringan mobil ditembak dengan misil dari Drone yang dikendalikan secara jarak jauh dan dipantau melalui sebuah monitor. Mobil yang ditumpangi pangeran Nasir dan keluarganya pun hancur lebur, menyisakan kawah di permukaan tanah yang dipijak oleh mobil pangeran Nasir. Melihat sisa ledakan di film ini, saya sendiri jadi teringat tragedi bom bali I yang juga menyisakan kawah di tanah. Lalu terlintas pertanyaan dalam benak saya: “apakah bom bali I juga hasil perbuatan pelaku yang sama dengan alat yang sama?”
Kejadian pembunuhan pangeran Nasir dan keluarganya oleh militer Amerika bersamaan dengan penobatan Lee Janus (CEO connex-killen) sebagai ‘oil man of the year’ yang disaksikan oleh adik pangeran Nasir yang nampak begitu bangga berada ditengah kumpulan kapitalis. Sungguh film ini secara apik menunjukkan betapa licik dan kejamnya kapitalis.
Hal ini sebetulnya sudah sangat biasa mereka lakukan di suatu negara, jika pemimpin suatu negara menampakkan gelagat bahwa dia bakal merugikan kepentingan para kapitalis di negara tersebut, maka mereka pasti menyingkirkan kepala negara tersebut, sehingga tidak mengherankan para penguasa negeri-negeri muslim ramai-ramai mempertunjukkan ketundukannya kepada para Kapitalis karena mereka sadar betul bahwa hal itulah yang akan melanggengkan kekuasaannya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam film ini adalah Pangeran Nasir sebetulnya ingin mewujudkan masyarakat yang demokratis di negerinya, tapi mengapa ia tetap dibantai? Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya para kapitalis tidak peduli seorang pemimpin itu demokratis atau tidak, para kapitalis akan mendukung seorang tiran seperti mendiang Saddam Husein sekalipun asal ia mau menjadi hamba kapitalis. Jadi demokratisasi suatu negeri yang mereka gembar-gemborkan itu hanyalah omong kosong belaka, bahkan mereka dengan muka badak menempuh cara-cara yang tidak demokratis untuk menguasai kekayaan suatu negeri.
Salah satu hal yang ingin ditunjukkan dalam film ini juga sebetulnya apa yang selama ini menjadi anggapan mereka (kalangan barat), yaitu aksi perlawanan dengan kekerasan (menggunakan bom bunuh diri dll) itu lebih dikarenakan kemiskinan yang menghimpit sebagian besar kaum muslimin yang kemudian dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki ide perlawanan terhadap kapitalis dengan kekerasan. Hal ini nampak pada perekrutan Saleem Ahmad khan, buruh imigran dari Pakistan, menjadi anggota gerakan perlawanan dengan kekerasan setelah ia dianiaya ketika berusaha melindungi seorang laki-lai paruh baya yang hendak dipukuli petugas keamanan pabrik gara-gara berbicara dalam antrian untuk mendapatkan pekerjaan baru setelah mereka semua dipecat. Saleem Ahmad khan inilah yang kemudian bersama seorang kawannya menunaikan misi meledakkan connex-killen menggunakan misil yang dibeli dari Robert Barnes (anggota CIA).
Tapi produser film ini entah karena tidak tahu atau pura-pura tidak tahu — tidak menggambarkan bahwa sesungguhnya mereka yang memiliki ide perlawanan dengan kekerasan pun seringkali dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk melanggengkan penjajahannya di negeri-negeri kaum muslimin. Yaitu ketika kepentingan para kapitalis di suatu negeri terancam oleh gerakan islam yang berjuang tanpa kekerasan untuk menumbangkan kapitalisme yang telah lama membangkrutkan negeri tersebut, maka para kapitalis tak segan-segan membuat konspirasi kotor untuk menuding gerakan islam tanpa kekerasan sebagai teroris yang harus disingkirkan. Kapitalis, melalui kakitangannya akan memasok senjata kepada mereka yang memiliki ide perlawanan dengan kekerasan dengan maksud agar mereka dapat melancarkan aksi kekerasan, jika aksi tersebut ‘berhasil’ maka yang akan ditunjuk hidungnya oleh para kapitalis adalah gerakan islam tanpa kekerasan atau malah kaum muslimin secara umum sebagai teroris.
Film syriana mungkin dianggap film yang membosankan dan membingungkan bagi sebagian orang. ini dikarenakan film ini menuturkan kejadian-kejadian secara paralel dan melompat dari satu lokasi ke lokasi yang laindi Texas, Washington DC, Swiss, Spanyol dan timur tengah. Tapi kita memang harus belajar dan membiasakan diri untuk mencerna hal-hal yang pelik, sudah saatnya kita berpaling dari sinetron-sinetron murahan yang hanya akan meninabobokan kita.
Sebagai kaum muslimin kita harus belajar memahami dan memiliki kesadaran politik dan konspirasi politik. Memang ada yang mengatakan bahwa agama adalah hal yang suci (profan) dan tidak layak disandingkan dengan politik yang dianggap kotor (solen), tapi justru politik menjadi kotor ketika dipisahkan dari agama. Politik juga menjadi kotor ketika kita menggunakan ajaran yang salah dalam menjalankannya.
Syriana adalah sebuah film yang menggambarkan wajah kapitalis yang sesungguhnya. Selain mendapatkan penghargaan academy awards untuk kategori geopolitical thriller, film ini juga mendapat kritik dari Cohen bahwa film ini bisa membangkitkan semangat anti amerika. Wallahu’allam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.