JARANG ada pembahasan yang lengkap mengenai falsafah dan hukum puasa. Umumnya kita sering membaca soal puasa secara fisik hanya merupakan bagian dari catatan medis dan tata cara penerapannya. Namun para ahli medis tidak sampai menyentuh taraf hakikat atas catatan yang dibuatnya.
Hari-hari di bulan Ramadhan ibarat 30 butir (obat) yang dikonsumsi dalam setahun untuk penguatan lambung, penyucian darah, dan ‘perawatan mesin’ pencerna tubuh. Namun bukan ini yang bisa kita maksudkan di sini, akan tetapi kita akan mengambil inspirasi Islam yang mewajibkan puasa bagi penduduk bumi sebagai faktor yang mengukuhkan ide manusia, agar tidak terjadi perubahan jiwa akibat berbagai peristiwa yang datang silih berganti.
BACA JUGA: Musafir Puasa tapi Merasa Berat, Bagaimana Hukumnya?
Kesetaraan
Puasa merupakan wujud kesetaraan ruhani yang dikehendaki syariah pada manusia, baik bagi si kaya maupun si miskin sebagaimana kesetaraan individu dalam shalat yang diwajibkan Islam bagi setiap muslim. Serta kesetaraan sosial dalam kewajiban ibadah haji bagi orang yang mampu melaksanakannya.
Kesetaraan ini ditujukan untuk mengiringi jiwa manusia dengan tindakan nyata, bahwa ada kehidupan sejati di balik kehidupan dunia yang nisbi; hanya bisa terwujud dengan kesamaan rasa pada manusia, bukan saat berbeda. Yaitu saat bersama merasakan keprihatinan, bukan saat berkompetensi mengikuti keinginan (nafsu) yang beragam.
Perbedaan Kebutuhan (perut)
Jika kita perhatikan, pada hakikatnya tidak ada perbedaan dalam hal akal, nasab, martabat, dan kepemilikan. Perbedaannya terletak pada kebutuhan perut dan pengatuh terhadap akal dan perasaan. Bencana yang menimpa manusia berasal dari perut yang memicu tindakan akal di muka bumi. Ketika terjadi perbedaan antara perut dan otak, perut akan menjulurkan kekuatan pencernaannya yang tidak mampu diredam.
Di sini puasa berfungsi memberikan pendidikan dan pelatihan , dan menjadikan manusia setara; satu rasa, memberikan batasan antara perut dan materi (yang dibutuhkan), meredam segenap perangkat saraf di dalam tubuh untuk menerima makanan dan berbagai kenikmatan lainnya, bahkan hingga isapan asap rokok.
Kasih sayang tumbuh dari keprihatinan
Di antara prinsip ilmu jiwa adalah bahwa rasa kasih sayang timbul dari keprihatinan. Inilah sebagian rahasia puasa yang agung berkaitan dengan aspek sosial. Dengan berpuasa seseorang benar-benar mencegah dirinya dari makanan atau serupa makanan agar tidak masuk ke perut. Dia melakukannya semata karena ingin menaati perintah Allah.
Ini adalah cara praktis mengembangkan kasih sayang dalam diri. Tidak ada cara lain yang lebih praktis selain musibah atau bencana. Namun antara keduanya terdapat perbedaan yang besar.
BACA JUGA: Meninggalkan Puasa Ramadhan dengan Sengaja, Wajibkah Mengqadha Setelah Taubat?
Cara pertama (yaitu dengan berpuasa) adalah cara yang bijak, sementara yang kedua adalah cara yang buta. Cara pertama adalah cara untuk orang-orang khusus, sementara cara yang kedua adalah cara orang awam. Dan cara pertama adalah cara yang teratur, sedangkan cara kedua adalah cara yang membabi buta.
Ketika kasih sayang orang kaya yang lapar kepada orang miskin yang lapar terwujud, maka rasa kemanusiaan yang ada dalam diri setiap manusia akan mempunyai kekuatan dan mereka bisa mengontrol keinginan jiwa terhadap materi.
Orang kaya akan mendengar suara orang miskin dalam sanubarinya, “Berilah aku kasih sayangmu.” Kemudian dia tidak lagi mendengar suara harapan tetapi perintah dari dalam diri yang harus dituruti dan direspon. Seperti seorang yang terkena musibah menghibur orang-orang yang senasib. []
Referensi : Ali Wasil El Helwany., Fasting a Great Medicine (Manfaat Luar Biasa Puasa, Medis, Psikologi dan Spiritual)