ADA dua cara pandang yang sama-sama buruk tentang fiqih Islam. Pertama, yang menyetarakan satu pendapat fiqih dengan Syariat Allah ta’ala yang tidak boleh diselisihi sama sekali, padahal faktanya pada persoalan tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Kedua, yang menganggap fiqih sekadar pendapat manusia biasa, sehingga siapapun boleh mengemukakan pendapat dan meminta untuk diikuti pendapatnya. Dua sikap dan cara pandang ini, sama-sama menyelisihi manhaj Islam yang wasathi (pertengahan), tidak ifrath dan tidak tafrith.
Imam Al-Baidhawi dalam “Minhaj Al-Wushul” mendefinisikan fiqih dengan:
العلم بالأحكام الشرعية المعلية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Artinya: “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (amal) yang didapatkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
BACA JUGA: Doa Berbuka Puasa Menurut Fiqih 4 Mazhab
Sedangkan Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi dalam “Al-Luma’” dan Imam Al-Haramain dalam “Al-Waraqat” mendefinisikannya dengan:
معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الاجتهاد
Artinya: “Pengetahuan terhadap hukum-hukum syar’i yang jalan untuk mengetahuinya adalah ijtihad”
Ada beberapa definisi lagi untuk fiqih yang dikemukakan oleh para ulama, namun dua definisi di atas sudah cukup memberikan kita pemahaman terhadap fiqih. Kita juga tidak akan membahas kritik atas dua definisi di atas dan menelaahnya dalam-dalam, karena bukan itu tujuan menuliskan definisi fiqih di atas pada tulisan ini.
Dari dua definisi di atas, kita menemukan bahwa fiqih Islam itu memiliki dua sisi yang tidak terpisah, yaitu sisi ilahi dan sisi basyari.
Sisi ilahi, maksudnya adalah, fiqih Islam itu bertujuan untuk mendapatkan hukum atas amal perbuatan manusia sesuai yang diinginkan oleh Allah Asy-Syari’ (Pembuat Syariat), dan ia diambil dari dalil-dalil syar’i. Ini bisa dilihat dari redaksi “الأحكام الشرعية” dan “من أدلتها التفصيلية”.
Hukum-hukum syar’i, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, adalah seruan dari Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Dr. Muhammad Yusri Ibrahim, dalam “Awdhah Al-‘Ibarat Fi Syarh Al-Mahalli Ma’a Al-Waraqat” menyatakan:
الحكم الشرعي هو خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين على جهة الاقتضاء والتخيير، وزاد ابن الحاجب: أو الوضع
Artinya: “Hukum syar’i adalah seruan dari Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf dari sisi iqtidha (tuntutan) dan takhyir (pemberian pilihan), dan Ibn Al-Hajib menambahkan: atau wadh’u (penetapan sesuatu).”
BACA JUGA: Tahapan Belajar Fiqih Madzhab Syafi’i
Adapun sisi basyari, diketahui dari ungkapan “المكتسب” dan “التي طريقها الاجتهاد”. Tentang “muktasab”, Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” menyatakan:
وكذلك علم رسول الله صلى الله عليه وسلم الحاصل من غير اجتهاد بل بالوحي
Artinya: “Demikian juga ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada tanpa melalui proses ijtihad, namun melalui wahyu.”
Beliau sedang menjelaskan mengapa fiqih disifati dengan “muktasab”, dan itu untuk mengeluarkan ilmu Allah ta’ala, ilmu malaikat, ilmu Rasul yang didapat melalui wahyu, juga ilmu yang didapatkan secara dharuri (diketahui oleh semua orang) seperti kewajiban shalat lima waktu. Semua itu bukan muktasab, karena tidak lahir melalui proses ijtihad.
Ijtihad sendiri, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syirazi dalam “Al-Luma’”, maknanya adalah:
استفراغ الوسع وبذل المجهود في طلب الحكم الشرعي
Artinya: “Mengerahkan segenap kemampuan (intelektual) dalam mencari hukum syar’i.”
Dari definisi di atas, kita bisa ketahui, bahwa ijtihad itu adalah usaha keras seorang mujtahid dalam mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya untuk mendapatkan hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i yang ada. Dan kita ketahui bersama, ijtihad bisa benar, juga bisa salah.
Para ulama pun menegaskan, bahwa wilayah bahasan fiqih itu adalah wilayah zhanni, baik sumber dalilnya sendiri yang zhanni (zhanni tsubut), seperti Hadits ahad, ijma’ yang zhanni, qiyas, dan seterusnya, maupun makna yang ditunjukkannya yang zhanni, meskipun itu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits mutawatir.
Kesimpulannya, fiqih Islam itu memiliki sisi ilahi, sehingga ia sakral dan harus bersumber dari dalil-dalil syar’i, sekaligus sisi basyari, sehingga pendapat seorang ahli fiqih mungkin keliru dan boleh ditinggalkan.
Fiqih Islam menggabungkan dua sisi ini, sehingga kesimpulan fiqih bisa berbeda-beda, sebagaimana bisa kita temukan di kitab-kitab fiqih, karena ia hasil ijtihad seorang manusia.
Namun hasil ijtihad tersebut harus disimpulkan dari dalil-dalil syar’i, tidak sekadar dari akal manusia belaka, dan tidak boleh menabrak nash yang shahih lagi sharih dan ijma’ yang qath’i.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Al-Wajiz Fi Ushul Al-Fiqh” menyatakan:
النقلي والعقلي مفتقر إلى الآخر، فإن الاجتهاد لا يقبل بدون الاعتماد على الدليل النقلي، لأن العقل المحض لا دخل له في تشريع الأحكام، والاستدلال بالأدلة النقلية يحتاج إلى نظر وتأمل وتعمق
Artinya: “Naqli dan ‘aqli masing-masing saling memerlukan yang lain. Ijtihad tidak diterima tanpa bersandar pada dalil naqli, karena sekadar akal saja tidak boleh menetapkan dan membuat hukum. Begitu juga, berdalil dengan dalil-dalil naqli memerlukan penelitian dan penelaahan yang mendalam.”
BACA JUGA: Sejarah Ilmu Ushul Fiqih
Setiap pendapat harus dilandasi dalil, karena para ahli fiqih itu sedang berusaha menjelaskan hukum yang diinginkan oleh Allah Asy-Syari’. Imam Asy-Syafi’i dalam “Ar-Risalah” menyatakan:
وهذا يدل على أنه ليس لأحد دون رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يقول إلا بالاستدلال
Artinya: “Dan ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi seorang pun selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (berpendapat) tanpa melandasinya dengan dalil.”
Namun hasil ijtihad mereka adalah hasil kerja intelektual seorang manusia, yang bisa benar, bisa juga salah. Ibn Al-Qayyim dalam “I’lam Al-Muwaqqi’in” mengutip pernyataan Imam Malik:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في قولي، فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به، وما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara