Oleh: Muhamad Pauji
Muhamad Pauji, pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa)
muhamadpauji50@yahoo.com
K.H. Mustofa Bisri pernah menulis cerpen yang sangat fenomenal berjudul, “Gus Jakfar”. Cerpen menarik itu bercerita tentang watak dan karakteristik eorang kiai yang dijuluki waliullah oleh masyarakat, karena kemampuannya menerawang dan meramal apa yang akan terjadi pada kehidupan seseorang.
Di antara anak-anak almarhum Kiai Soleh, Gus Jakfar terbilang paling terkenal dan tersohor di antara semuanya. Ia bisa menerawang dan melihat tanda-tanda keajaiban yang akan dialami orang lain melalui gestur dan raut wajahnya. Keistimewaan itulah yang membuat namanya begitu melambung hingga diakui oleh banyak kalangan.
Sejak dulu, ketika ada pejabat atau pengusaha yang mengadakan silaturahim kepada Kiai Soleh, tak lupa menyempatkan diri berjumpa dengan Gus Jakfar serta menyelipkan amplop atau cenderamata lainnya. Konon kata masyarakat sekitar, usia Gus Jakfar itu lebih tua dari Kiai Soleh sendiri selaku ayah kandungnya.
Ketika membaca kening orang, Gus Jakfar seperti biasa memicing-micingkan matanya. Seorang pejabat Pemda yang sudah puluhan tahun mengabdi pada negara, diterawang oleh Gus Jakfar di hadapan kawan-kawannya: “Kang, hidung sampeyan itu kok sudah bengkok? Apa Kang Kandar sudah bosan bernafas?”
Keesokan harinya, kawan-kawan sekantor segera melayat menuju rumah di ujung jalan Beringin, dilatari dengan bendera kuning-kuning, yang tak lain adalah rumah almarhum Kang Kandar.
Pernah juga terawangan itu dialami Sumini, anak penjual rujak yang dijuluki banyak orang sebagai perawan tua: “Sum, saya melihat jidat kamu kok mengkilat, sudah ada yang melamar ya?” Tak berapa lama, muncullah laki-laki dari kampung seberang yang menemui orang tua Sumini untuk melamar anaknya.
Cerita lainnya, suatu kali seorang pemborong memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat provinsi. Sehari sebelum memenangkan tender tersebut, tak ada hujan tak ada angin, ia disindir oleh Gus Jakfar ketika secara kebetulan berpapasan dengannya: “Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?” Padahal waktu itu, sakunya sedang kempes, dan tidak ada selembar uang pun di dalamnya.
“Apakah itu yang disebut ilmu kasyaf?” kata masyarakat sekitar, “Tapi masalahnya, apakah benar anugerah semacam itu hanya diberikan pada orang yang mencapai derajat wali? Waduh, saya kok jadi takut kalau ketemu dengan Gus Jakfar…”
Lunturnya Kesaktian Gus Jakfar
Di antara tulisan kiai-kiai NU seperti Gus Dur dan Said Aqil Siroj yang banyak bersifat opini dan esaistik, karya-karya sastra dari goresan pena Mutofa Bisri (Gus Mus) lebih mendekati maqam kesufian dan kemakrifatan.
Pesan moral dan nilai-nilai religiusitas, akan mudah melekat pada memori masyarakat dengan menyuguhkan tulisan dalam bentuk fiksi dan sastra. Cerita-cerita yang baik akan mempesona dan memikat hati pembacanya. Totalitas berkarya dalam karya sastra, membuat seorang penulis begitu intens dan fokus.
Menurut Gus Mus, menulis sastra adalah kecakapan menyampaikan sesuatu dengan gaya dan selera yang diinginkan penulisnya. Suatu kisah yang bagus dan menarik, akan selamanya melekat dalam sanubari masyarakat pembacanya. Karena memang disampaikan dengan penuh kecermatan dan ketelitian, oleh orang-orang yang cerdas, cakap dan penuh perhitungan.
Kemampuan ilmu kasyaf yang digambarkan dalam cerpen Gus Jakfar, konon disandang pula oleh banyak sastrawan dan penyair kita. Bukan hanya perkara jodoh, rizki dan kematian, konon melalui ilmu kasyaf tanda-tanda akan mudah terbaca, apakah suatu perusahaan akan berjaya ataukah jatuh dalam kebangkrutan. A
pakah akan bangkit kembali setelah kejatuhan, ataukah akan gulung tikar untuk selama-lamanya.
Namun kemudian, Gus Jakfar merasa ada sesuatu yang ganjil dalam dirinya, apakah kelebihan yang dia miliki merupakan anugerah ataukah musibah baginya.
Mengapa tiba-tiba dia murung dan menyesali nasibnya. Mengapa pula dia selalu mempertanyakan dirinya sendiri, nyaris frustasi, hingga kehilangan kharisma dan kewibawaannya.
Setelah Gus Jakfar menghilang selama beberapa minggu, tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat yang berbau ramalan, dan lama kelamaan dia pun benar-benar kehilangan kesaktian dan keistimewaannya.
Menjadi Manusia Biasa
Berawal dari mimpi bertemu dengan ayahnya yang berpesan agar Gus Jakfar menemui seorang wali yang dikenal dengan sebutan Kiai Tawakkal.
Setelah berhari-hari mencari kediaman Kiai Tawakkal yang konon telah mencapai maqam dan derajat kewalian, Gus Jakfar diberi nasihat dan wejangan yang sangat filosofis dan religius. Hingga mampu mengubah paradigma dan jalan berpikirnya tentang hakikat manusia dalam hubungannya secara vertikal dengan Allah Sang Pencipta.
“Wahai anak muda, apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di keningku? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri? Kau tak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan apakah aku akan masuk neraka ataukah sorga.
“Apa yang kau lihat itu, belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Bukankah kau mengerti bahwa sorga dan neraka hakikatnya adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia akan memasukkan kita ke dalam sorga atau neraka. Dan untuk menggolongkan hamba-Nya ke dalam ahli sorga atau neraka, sebenarnya Allah tidak memerlukan suatu alasan.
“Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke dalam sorga? Ataukah kau berani mengatakan bahwa orang-orang yang berada di warung yang kau pandang sebelah mata tadi, pasti akan masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya. Tapi kita tidak berhak menuntut balasan atas kebaikan yang telah kita lakukan. Mengapa? Karena hakikatanya, kebaikan kita pun berasal dari Allah juga.”
Gus Jakfar yang terbilang sakti itu hanya menunduk, terpaku diam. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk pundaknya, menasihatinya agar senantiasa berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Sesungguhnya cobaan berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.
Seperti para wanita yang berada di warung tadi, kebanyakan mereka adalah orang-orang susah. Sedangkan orang susah akan sulit bagi mereka untuk berlaku ujub, sombong dan takabur, yakni sifat-sifat yang seringkali dimiliki oleh orang-orang yang haus penghargaan dan penghormatan, cenderung memuji dan membesarkan diri sendiri.
Malam itu Gus Jakfar tercenung seperti mendapat petunjuk dan ilmu pengetahuan baru yang selama ini belum pernah ia dapatkan dari guru manapun. Semalam suntuk perjalanannya bersama Kiai Tawakkal mengantarkannya pada hidayah Allah, bahwa setinggi-tinggi ilmu manusia, hanyalah setetes tinta di tengah lautan samudera yang maha luas.
Di atas langit masih ada langit. Setinggi apapun derajat dan kedudukan manusia, akan selalu masih ada yang lebih tinggi darinya. Hanya Allah Yang layak dipuji dan dibesarkan, dan Muhammad adalah manusia teladan yang diperintahkan Allah agar mencontoh dan meneladaninya. []