Oleh: Kaka Samiha
PAGI tadi, saat menunggu angkot lewat, bapak ini berhenti tepat di depan saya. Wajahnya menahan letih. Gerobaknya ia turunkan. Ditariklah handuk yang menggantung di lehernya.
Keringat yang sedari tadi mengalir dari kening hingga leher, ia lap dengan handuk lusuh yang dikalungkan di punggung leher. Setelah yakin keringatnya bersih, Ia kembali bersiap menarik gerobaknya.
Bapak ini, agaknya sudah menerima takdir. Takdir yang digariskan bahwa ia mesti menarik gerobak begitu jauhnya. Ia tak membandingkan dirinya dengan orang-orang di sekitarnya .
Ia menjalankan tugasnya hingga tuntas. Karena setelah selesai tugas nya itu, Allah berikan karunia kepada Nya berupa rupiah. Rupiah itu pasti tak seberapa. Lagipula ia pasti menerimanya dengan lapang.
Maka membandingkan diri kita dengan orang lain adalah keliru. “Mereka kondisinya lebih baik, sedang kita seperti ini.”
Padahal ada jutaan episode yang tak pernah kita tahu. Episode–sebelum atau sesudah–yang dialami oleh orang yang kita bandingkan itu.
Tapi membandingkan untuk memotivasi diri agar bisa bertumbuh dan menuju kebaikan, itu sah-sah saja.
Lalu, seorang dosen di Malang pernah bilang pada saya. “Membandingkan diri kita dengan orang lain tak akan ada habisnya. Fokus saja pada diri kita untuk taat dan berbuat baik. Allah takkan keliru menilai.” []
Silakan kirim tulisan/renungan Anda ke Islampos@gmail.com, maksimal 2 lembar HVS.