JAKARTA—Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan bibit radikalisme sudah masuk ke sekolah dikarenakan sistem pembelajaran yang tidak didisain untuk menghargai perbedaan.
“Pembelajarannya tidak didisain menghargai perbedaan. Sehingga para siswa dan guru terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan kegamaan dan pandangan politik),” kata Wasekjen FSGI Satriawan Salim kepada Islampos.com di Jakarta, Rabu (23/5).
Ia beranggapan, walaupun masih belum berujung tindakan kekerasan model intoleransi pasif inilah yang menurutnya mulai muncul di dunia pendidikan saat ini.
“Guru terjebak kepada pembelajaran yang satu arah. Maksudnya adalah pratik pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher centered learning). Guru menerangkan pelajaran, siswa mendengar,” ungkapnya.
Dirinya menjelaskan padahal guru mengetahui, siswa tidak tahu namun Guru selalu benar dan siswa bisa salah.
“Relasi pembelajaran yang terbangun antara guru dan siswa adalah relasi guru superior dan siswa inferior dan pola seperti ini masih banyak ditemukan oleh FSGI di sekolah-sekolah,” terangnya.
Salim menambahkan, tidak tercipta ‘pembelajaran dialogis’ antara siswa dan guru. Penyemaian radikalisme, kata dia terjadi ketika guru terbiasa mendoktrin pelajaran, apalagi dalam ilmu sosial dan agama.
“Tidak terbangunnya suasana pembelajaran dialogis, mendengarkan pendapat argumentasi siswa”, cetusnya. []
Reporter: Rhio