Oleh: Widyastuti, S.Pd.
Pengamat Pendidikan, Tinggal di Semarang
KEBIJAKAN FDS masih menuai reaksi pro kontra. Ada keresahan luar biasa (dari para pendidik) dengan penerapan kebijakan Full Day School. Sebab, kebijakan tersebut mengharuskan murid berada disekolah selama delapan jam.
Rutinitas di sekolah yang sudah berlangsung hingga sore, menutup peluang mereka untuk belajar yang lain. Bahkan sekadar ke masjid ataupun belajar agama, Sudah lelah. Kecuali les-les privat menjelang ujian saja yang diusahakan, karena paradigma belajar saat ini hanya fokus untuk mengejar nilai.
Anak-anak Full Day School  jarang berinteraksi dengan lingkungan. Mereka sudah lelah dengan segala aktifitas di sekolah, akhirnya lebih betah di rumah, bercengkerama dengan TV ataupun gadged. Tak heran bila anak-anak Full Day Scchool  kurang mengenal lingkungan tetangga, terutama jika tidak ada teman sebaya di sekitarnya. Dan bisa dibayangkan generasi seperti apakah yang akan dihasilkan dari program ini, berkarakterkah? Atau Individualis?
Dampak negatif lain yang terasa adalah melemahnya kontrol orang tua kepada anak karena semuanya diserahkan pada sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana guru harus menanggung banyak beban kebutuhan emosional anak secara keseluruhan. Mampukah?
Di sisi lain, di Indonesia ada model pendikan pesantren maupun madrasah. Anak-anak level SD dan SMP menimba ilmu agama lebih intensif kepada para ustaz-ustazah baik di sekolah sore maupun masjid, karena tidak didapatkan di sekolah pagi. Sebagaiman kita ketahui di Sekolah umum anak-anak tidak diajarkan membaca Alquran secara intensif. Mereka bisa membaca Alquran karena ngaji intensif di luar sekolah.
Sekolah umum ini, juga tidak memotivasi anak didik untuk menjadi pribadi-pribadi pembelajar yang haus ilmu agama. Bahkan tidak sadar bahwa mereka wajib belajar agama. Belajar agama benar-benar diabaikan. Sedangkan kebutuhan akan ilmu-ilmu agama harus diakomodir. Maka, penerapan full day school bagi kalangan yang mengakomodir  kebutuhan akan ilmu-ilmu agama seperti ini, tidak cocok.
Maka wajar jika Kali ini madrasah diniyah (madin) dan pesantren yang merasa terancam keberadaannya (eksisitensi, program dan SDM) dengan pemberlakuan full day school. Akhirnya Presiden mengeluarkan perpres yang memberi kelonggaran memilih pada sekolah untuk memberlakukan atau tidak.
Ini menegaskan bahwa kebijakan sepenting itu tidak diawali dengan pertimbangan dan perencanaan matang. Akibatnya, begitu mudah jg pemerintah merevisi kebijakannya. Pemerintah telah memperlakukan generasi penerus bangsa sebagai kelinci percobaan.
Belum lagi masih kaburnya konten pendidikan karakter yg melatarbelakangi lahirnya kebijakan ini, dikhawatirkan bukan memperbaiki perilaku (islami) generasi tapi makin menguatkan karakter sekuler dan liberal yang membahayakan identitas mereka sebagai generasi Islam.
Pendidikan agama Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak. Menjadikan iptek selaras dengan ajaran agama, menjadikan halal-haram serta baik buruk sebagai standar perilaku. Cara inilah yang akan memunculkan para genrerasi bangsa yang cemerlang. Pembelajar sejati yang semakin tinggi level belajarnya, semakin meningkat ketakwaannya. Wallahu A’lam. []