Cerpen Alim Witjaksono
(Aktivis kemanusiaan dan penikmat sastra mutakhir Indonesia, menulis prosa dan esai di berbagai media luring dan daring, di antaranya litera.co.id, islampos.com, alif.id, Kabar Madura, Tangsel Pos, Kabar Banten dan lain-lain)
iyusrustamalim@gmail.com
“WAH, itu benar-benar wanita paling cantik yang pernah saya lihat sepanjang sejarah hidup saya!” Tubuhnya sintal dan ramping. Kulitnya halus dan lembut. Gerak-geriknya luwes dan tenang. Matanya lentik agak kebiruan. Rambutnya hitam mengkilap, lurus hingga melewati bahu. Gadis itu sekitar 23 tahun, mengenakan sweater abu-abu dengan bahan katun yang halus bergambar bunga berwarna-warni. Ia mengenakan celana panjang hitam, dan sepatu sport berwarna hijau muda. Saya sedang mengantre tiket kereta menuju stasiun Merak, yang rencananya akan menyeberang ke daerah Sumatera. Lalu, mau ke mana tujuan gadis cantik yang ikut mengantre persis di depan saya itu?
Hujan deras masih turun sepanjang malam hingga pagi hari. Sengaja saya memilih jalur kereta karena lebih praktis dan simpel untuk mencapai pelabuhan, di mana kendaraan tak harus berjejal bersama truk-truk dan mobil-mobil angkot, jika saya memilih jalur kendaraan bus antar kota.
Di depan gadis itu ada perempuan tua asal Padang yang selama satu jam berkeluh-kesah perihal tulang-tulang keropos pada bahunya, yang terus bergemeretak karena mengangkat tas dengan beban berat. Gadis cantik itu hanya menanggapinya dengan tersenyum, tetapi senyum pada bibirnya itulah yang membuat saya berkali-kali harus menahan nafas. Petugas tiket segera menyadarkan saya dengan suaranya yang keras, kemudian saya merogoh dompet untuk membayar tiket. Ketika dilihat, posisi duduk saya di gerbong nomor 2 pada kursi nomor 14D.
BACA JUGA: Disaster Jono
Di dalam gerbong, nasib saya kurang begitu mujur, karena tempat duduk berseberangan dengan kursi nomor 13D yang ditempati gadis cantik itu. Tetapi, sebuah pengumuman dari pengeras suara telah mengetuk hati saya, bahwa perjalanan kereta diberhentikan di stasiun Cikeusal untuk sementara waktu, dikarenakan stasiun berikutnya di Walantaka sedang terjadi banjir besar.
Otomatis semua penumpang harus turun di stasiun Cikeusal, yang rupanya gedung stasiun juga sedang dijadikan tempat penampungan bagi ratusan pengungsi yang terkena dampak banjir di sekitar utara kecamatan Cikeusal.
Saya bertanya pada salah seorang petugas peron, berapa lama lagi banjir ini akan surut, tetapi dia hanya mengangkat bahu dan menjawab wallahu a’lam.
Petugas di sebelahnya memberi kabar bahwa banjir kali ini, boleh dibilang yang terparah selama 25 tahun dia bertugas sebagai PPKA1]. Tetapi, BMKG2] mengabarkan melalui jaringan internet, bahwa banjir kali ini justru yang terbesar selama satu abad ini.
***
Di ruang tunggu stasiun, semua kursi dan bangku telah dijejali oleh ratusan pengungsi banjir bercampur penumpang kereta api jurusan Rangkasbitung-Merak. Gadis cantik itu tidak kebagian tempat duduk, hanya berdiri saja di antara lelaki-perempuan kampung yang kotor dan kumal, basah-kuyup, dan sebagian tak mengenakan alas kaki. Di antara ratusan orang dari berbagai daerah, si Cantik menciptakan pemandangan unik tersendiri bagaikan sekuntum bunga mawar merah merekah, di antara semak belukar dan rumput-rumput ilalang. Ia membuka tas mungilnya, mengambil ponsel, dan jari-jemarinya yang ramping dan lincah memainkan layar ponselnya.
Hujan deras masih mengguyur wilayah Banten, dan suara kilat dan guntur saling sahut-menyahut di kejauhan sana.
Para pengungsi banjir masih terus berdatangan, dibantu oleh puluhan petugas dari pemerintah daerah, PMI3], dan LSM4]. Saya melongok ke halaman stasiun, dan pemandangan di sana lebih mengerikan lagi. Bangku-bangku ruang tunggu penuh berjejalan hingga mencapai koridor stasiun. Para wanita, orang tua dan anak-anak berkumpul menjadi satu. Sebagian anak-anak menangis meraung-raung dalam dekapan ibu dan bapak mereka yang sama-sama basah kuyup. Sebagian dari mereka membawa peralatan rumah-tangga yang berhasil diselamatkan, di antaranya televisi, dispenser, kulkas, kompor hingga mesin cuci. Semuanya berjejal di dalam stasiun hingga ke ruang-ruang kantor para petugas peron.
Menjelang jam makan siang, para pedagang asong menjajakan dagangannya, lalu seketika habis ludes diserbu anak-anak dan ibu-ibu yang saling berebut di sepanjang koridor stasiun. Bau ternak mulai meruap dari kerumunan orang yang mendekap ayam, bebek hingga menyelamatkan kambing-kambing mereka. Di tengah orang-orang yang berebut makanan, satu-satunya yang bisa saya dapatkan adalah dua buah serabi gosong yang langsung saya santap dengan keripik emping. Saya melirik ke arah si Cantik, yang kelihatan membuka-buka tasnya untuk mengambil sebatang cokelat yang dimakannya bersama dengan minuman juice yang tersimpan di dalam tas mungilnya.
Hujan deras masih berlangsung, namun sekitar Pk. 13.30 siang, kereta segera diberangkatkan karena banjir di sekitar stasiun Walantaka sudah mulai surut. Para penumpang segera memasuki gerbong-gerbong kereta, tetapi si nenek tua asal Padang telah menempati kursi 14D yang mestinya tempat duduk saya.
“Apakah nenek ingin pindah tempat duduk?” tegur saya ramah.
“Ya, biar saya di sini saja, supaya jangan dekat-dekat AC.”
BACA JUGA: Pesan Pendek Anas
Nah, ini dia (pikir saya). Berarti posisi duduk saya persis berhadapan dengan kursi si Cantik. Dalam hati, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kebaikan hati si nenek yang memosisikan saya bagaikan sang malaikat yang diperintahkan Tuhan untuk mengubah arah takdir.
Saya perhatikan si Cantik sedang mengatur tempat duduknya seolah-olah akan menetap di kereta selama berbulan bahkan bertahun-tahun lamanya. Ia meletakkan segala sesuatu secara rapi dan tertata, sampai-sampai tempat duduknya tampak begitu teratur seperti rumah idaman nan sejahtera. Sementara itu, seorang pelayan membawa tatakan dan gelas kosong, menawarkan pada kami apakah mau pesan minuman. Dengan suaranya yang halus dan merdu, si Cantik minta dibawakan segelas teh manis hangat, kemudian ketika pelayan itu menghadap ke arah saya, segera saya memesan segelas kopi susu.
Masih terdengar dalam telinga saya suara merdu itu, dengan hanya mengucapkan frase “teh manis hangat”, namun nada yang keluar dari pita suaranya bagaikan lirik-lirik lagu indah yang diciptakan oleh seorang musisi profesional. Tak lama kemudian, pelayan itu datang dan membawakan pesanan kami. Si Cantik menaruh gelas minumannya pada kastok kecil yang tersedia di samping tempat duduk, bersebelahan dengan gelas minuman saya.
Saya membayangkan dua gelas yang berdampingan itu bagaikan penjelmaan lelaki dan bidadari cantik yang sedang duduk berdampingan di balai-balai yang disediakan para malaikat di surga firdaus. Ketika waktunya saya perhatikan ia menghirup minumannya, tampak bibirnya yang menawan menempel pada ujung gelas seakan menciptakan bekas-bekas yang menempel sepanjang hayat.
Setelah menaruh gelasnya di tempat semula, si Cantik merapikan kotak kosmetik di dalam tas mungil yang diletakkan di antara kedua pahanya. Ia mengambil satu butir pil vitamin C berwana orange lalu meletakkannya pada lidah serta mendorongnya dengan air mineral pada botol kecil yang disimpannya. Ia melakukan segala sesuatunya secara rapi dan teratur, seolah-olah tak pernah ia mengalami kejadian-kejadian tak terduga sejak ia dilahirkan.
Tak lama kemudian, ia menutup tirai jendela, meski sebelumnya keluar kembali suara merdu dari mulutnya, menawarkan pada saya, “Apakah Mas keberatan kalau jendelanya ditutup?”
“Oo ya, enggak apa-apa, silakan ditutup,” jawab saya agak gugup.
“Terima kasih.”
Ia kembali duduk, menyandarkan kepalanya di kursi. Ia menyelimuti dirinya dengan melipatkan kedua tangan bersedekap. Posisi duduknya kini agak meringkuk dan menyamping, sampai kemudian tidur pulas selama satu jam lebih, seakan tanpa menghela nafas bahkan tanpa pernah menggeser atau mengubah posisi tidurnya sama sekali.
***
Walaupun perjalanan ini cukup berat, karena saya mendapat tugas dari kantor untuk melintasi Selat Sunda hingga pulau Sumatera, namun kali ini adalah perjalanan yang menggairahkan. Saya selalu meyakini bahwa tak ada lukisan paling menarik untuk menggambarkan ciptaan Tuhan yang melebihi keindahan wanita cantik. Karena itu, sulit bagi saya untuk mengalihkan pandangan, atau berpaling dari sihir ajaib seakan hidup di dunia dongeng bersama puteri cantik yang sedang tidur persis di hadapan saya.
Pelayan datang untuk mengambil dua gelas pada kastok, dan si Cantik mengamit tasnya untuk mengambil dompet dan membayar dengan uang pas. Saya pun membayar kopi yang telah saya teguk habis dengan uang sepuluh ribu, sambil mengatakan bahwa kembaliannya buat Mas saja. Setelah itu, si Cantik menggeser duduknya, mendekapkan kedua tangannya untuk kembali tidur seperti semula.
Untuk menambah suasana hangat, saya memanggil pelayan lainnya yang mendekat dengan raut kaku, sambil meminta dibawakan mie gelas. Tak berala lama, pesanan datang, dan serta merta saya menyantapnya sendirian sambil membayangkan seolah-olah kami sedang menikmati masakan terlezat di sebuah dipan-dipan surga yang dihidangkan langsung oleh si Cantik yang menyerupai bidadari jelita.
Ketika kereta melewati stasiun Serang menuju stasiun Karangantu, sekelebat saya menyaksikan area pesawahan yang masih tergenang banjir di antara kiri dan kanan rel kereta. Banjir besar tampak mulai reda ketika perjalanan menuju stasiun kota Cilegon, meskipun ketika transit di stasiun Bojong Gede masih tampak puluhan pengungsi banjir yang masih bergelimpangan di koridor-koridor stasiun bersama binatang ternak dan peralatan rumah-tangga mereka. Si Cantik masih saja tidur dengan pulasnya, tanpa bergeser sedikit pun. Muncul pikiran yang bukan-bukan dalam benak saya, bahwa teh manis yang ia hirup tadi seakan minuman yang mengandung kadar obat berdosis tinggi, yang ia tenggak untuk mengakhiri hidupnya.
Ketika kereta memasuki stasiun kota Cilegon, hujan deras sudah mereda. Boleh dibilang banjir terbesar abad ini sudah berakhir. Selama beberapa waktu saya menatap dan membayangkan si Cantik dengan seksama, seakan kami sedang berada dalam bayang-bayang mimpi di atas genangan-genangan air, layaknya hidup bersama puteri kerajaan Laut Selatan. Di lehernya yang putih terlilit kalung mutiara sintetis, telinganya yang sempurna dihiasi anting-anting kecil yang menawan. Kuku-kuku di antara kedua jemarinya memerah segar, dan di jari manis pada tangan kirinya terselip cincin polos yang unik.
BACA JUGA: 7 Puisi Supadilah Iskandar tentang “Sufi dan Penyair Tua”
Segeralah saya menghibur diri untuk menentramkan pikiran, bahwa cincin itu bukanlah cincin kawin melainkan hanya baru ikatan, atau hanya pemberian dari orang tuanya sebagai hadiah perhiasan untuk anak tercinta.
Melihatnya tidur pulas dengan tenang dan damai, membuat pikiran saya mengembara membayangkan sosok cantik Nyi Roro Kidul dalam lukisan Basuki Abdullah, yang menggambarkan wanita dengan tubuh sintal nan gemulai, dihiasi rambut terurai mengenakan kemben berwarna hijau tanpa aksesoris yang mencolok, serta menunjukkan kesederhanaan wanita desa di sungai Kalitimbang5]. Hal itu pun mengingatkan saya pada sosok sufi yang menjadi ahli ibadah selama puluhan tahun. Ia telah telah mencapai tahap puncak spiritualnya, hingga tinggal selangkah lagi mencapai maqam “ma’rifat” (Negeri Murni). Sang sufi terbiasa berzikir sepanjang hari di Kuil Shiga. Ia berpendapat bahwa makhluk yang bernama wanita adalah penghalang bagi jalan mulusnya untuk mencapai Negeri Murni.
Tetapi, pada suatu senja di musim semi, pada saat dia sedang khusuk bersembahyang tiba-tiba sebuah kereta sapi lewat, dan dari balik jendelanya terbuka suatu tawaran manis dari seorang selir kekaisaran, yakni seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan bergelar “Selir Agung Kekaisaran”.
Dua pasang mata dari dunia yang berbeda saling berpadu. Lelaki tua yang taat beribadah, yang sudah memuncak kesempurnaan rohaninya, hingga merasa kebal dari segala rayuan dan godaan duniawi. Tiba-tiba, sang wanita cantik di balik jendela itu dapat meruntuhkan segala ikhtiar kerohaniannya setelah sekian puluh tahun dia perjuangkan. Jembatan yang sudah ia dekati, tinggal meloncat ke Negeri Firdaus, tiba-tiba ambyar seketika. Seperti kehilangan nalar ia pun terjatuh ke dalam pelukan asmara yang luar biasa. Selama berhari-hari dan bermalam-malam dia hanya berdiri dengan tongkatnya di sudut taman istana, melamun dan memandang tergila-gila pada suatu jendela, yang merupakan jendela kamar pribadi Sang Selir Agung Kekaisaran.
Di sisi lain Sang Selir pun terpukau pada kesalehan Kakek Tua itu, seolah-olah datang dari dunia yang tak pernah ia kenal. Saat itulah dua superheroes berpadu dalam konflik misterius, berbentuk asmara khas yang menggetarkan kalbu. Sang Selir Agung yang pada mulanya belum paham apa yang harus ia perbuat, pada malam itu ia pun mempersilakan Sang Sufi mendekati jendelanya yang semakin terbuka lebar. Tangan putihnya keluar disambut hangat oleh Sang Sufi. Wanita cantik itu bersiap-siap membuka pakaiannya pada saat Sang Sufi memintanya, agar beliau dapat melihat dan menikmati kecantikan dan kemolekan tubuhnya secara tuntas. Tapi keesokan harinya, ia menunggu, menunggu, namun permintaan itu tak kunjung datang, sampai akhirnya ia terkulai lemas dan pulang ke Negeri Murni.
Seketika itu, saya membayangkan diri menjadi sosok kakek tua itu, meskipun saya menolak untuk buru-buru pulang ke negeri akhirat lantaran keindahan dan kemolekan tubuh yang sedang tidur di hadapan saya, dengan balutan sweater berwarna abu-abu, serta rambut terurai mengkilap menutupi sebagian wajahnya.
Saya mencoba berbaring bersandarkan kursi sambil menghela nafas dalam-dalam. Sejenak saya mendengar tarikan nafas si Cantik yang selembut sutera. Tak berapa lama, saya terkesiap lantaran si Cantik tiba-tiba terbangun dan melangkah pelan menuju toilet kereta api. Entah, apa yang dilakukannya di dalam toilet, yang barangkali dinding-dindingnya dipenuhi coretan ulah kaum muda putus cinta, atau berteriak lantang menyoal ketidakadilan seperti yang tergambar dalam Corat-coret di Dinding Toilet, karya Eka Kurniawan6].
Sejenak kereta api terguncang karena salah satu rel yang kurang stabil, atau karena bobot muatan yang tidak seimbang. Tak ada sesuatu yang terpikir oleh saya kecuali nasib si Cantik di dalam toilet, apakah ia terhempas ke dinding dan terjatuh, ataukah hanya kaget sejenak karena sentakan mendadak tadi. Hampir saja saya melompat menolongnya, jika tidak dihalangi oleh pikiran bahwa para petugas kereta rupanya cukup sigap untuk membantu setiap kebutuhan penumpang yang memerlukan pertolongan.
“Ayo, semuanya duduk dengan tenang. Mohon maaf, karena tadi ada salah satu titik rel kereta yang masih dalam perbaikan,” kata seorang petugas memperingatkan.
Si Cantik kemudian datang dan duduk kembali seperti sedia kala. Kereta sudah hampir mendekati stasiun terakhir. Saya ingin sekali membuka suara dengan mengulang kembali penjelasan petugas mengenai perbaikan rel kereta tadi, tetapi sayang saya tak punya keberanian. Sepintas saya mengutuk diri sendiri, kenapa terlahir sebagai laki-laki lembek dan pengecut, yang merasa tak memiliki keberanian apapun menghadapi seorang gadis cantik nan jelita, yang sebentar lagi harus berpisah di stasiun Merak. Ah, kenapa saya enggak dilahirkan sebagai Yosef dalam novel Perasaan Orang Banten7] (teriak saya dalam hati).
BACA JUGA: Calon Suami Maesa
Pengumuman disampaikan lewat pengeras suara, bahwa kereta api sebentar lagi akan sampai di stasiun terakhir. Ia menatap jendela dengan kedua matanya yang cemerlang, menegakkan sandaran kursi, dan mengibaskan rambutnya yang hitam mengkilap. Ia mengambil kotak kosmetik dan menaruh di pangkuannya, berdandan dengan cepat, serta memolesi bibirnya dengan lipstick warna merah muda. Si Cantik kemudian berlalu meninggalkan saya yang masih terpesona di tempat duduk, tanpa mengucapkan selamat tinggal. Namun, di dalam hati saya terdetik ucapan terima kasih buat si Cantik, yang telah menghibur saya dengan perjalanan yang sangat menyenangkan.
Suatu perjalanan yang disertai badai dan musibah banjir bandang, dengan para pengungsi yang bergelimpangan di sepanjang setasiun. Namun, dengan keberadaan makhluk Tuhan yang bernama “wanita cantik”, seakan perjalanan itu hanya sejenak dan sepintas lalu saja. []
Catatan:
1. PPKA: Pengatur Perjalanan Kereta Api.
2. BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
3. PMI: Palang Merah Indonesia.
4. LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat.
5. Sungai Kalitimbang: nama sungai di kota Cilegon dalam novel Perasaan Orang Banten.
6. Eka Kurniawan: sastrawan Indonesia kelahiran Sunda Tasikmalaya, Jawa Barat. Pernah masuk nominasi The Man Brooker International Prize 2016.
7. Perasaan Orang Banten: Novel karya Hafis Azhari tentang karakteristik manusia Indonesia.