“BERAPA umurmu sekarang?” Tanya Teuku Umar selepas Isya.
“Aku belum mau menikah.” Gadis belia itu resah, khawatir disuruh segera nikah. Ya, Gambang belum siap menerima kehadiran lelaki di hatinya. Cut Nyak Dien tersenyum geli. Ayah, ibu, dan anak itu tegah bercengkerama di rumahnya yang sederhana.
“Siapa yang menyuruh kau menikah,” ujar Teuku Umar, “Ayah hanya ingin tahu perasaanmu, rasanya ayah hanya ingin bicara hal-hal yang penting.”
BACA JUGA: Nasihat bagi Wanita yang Merasa Terlambat Menikah
“Pertama, aku ingin kau menjadi anak yang shalih(ah), karena hanya anak yang shalih yang akan melicinkan jalan orangtuanya di akhirat kelak.” lanjut Teuku Umar, “Yang kedua, aku ingin kau menjadi wanita seperti ibumu. Dan yang terakhir aku suka pada pemuda itu. Siapa namanya?”
Tak ada jawab di sana, semua bergelut dengan pikirannya masing-masing. Yang hadir hanyalah cinta, kasih sayang, dan kehangatan keluarga pejuang. Yang tak rela tanah air mereka dirampas kafe-kafe (kafir) Belanda, rakyat diinjak, diperas, dan dihinakan.
Harapan panglima laskar jihad yang menyadari bahwa kematian amat dekat dalam hidupnya, merupakan sisi manusiawi sebagai seorang ayah pada anak gadisnya. Pesan yang dibalut niatan suci agar anak gadisnya tumbuh menjadi pribadi yang luhur.
Pertama, harapan anak gadisnya menjadi wanita shalihah. Ini sebagaimana pesan nabi Saw bahwa setiap orang akan mati dan terputus segala amalnya, kecuali tiga hal dan salah satunya adalah anak shalih. Harapan dari sisi biologis sebagai seorang ayah.
Kedua, harapan anak gadisnya memiliki kualitas seperti ibunya, bahkan lebih. Sebagai suami, Teuku Umar mengetahui kualitas istrinya yang luar biasa. Ada cinta yang mekar melalui harapan agar anak gadisnya pun tumbuh sebagaimana ibunya yang hebat dan luar biasa.
Ketiga, harapan anak gadisnya bersuamikan lelaki shalih. Sebagai seorang ayah, Teuku Umar melihat, memerhatikan dan mengenal seorang pemuda yang dirasanya cocok menjadi pendamping anak gadisnya.
Selain itu ia pun mengetahui gelagat dan kecenderungan anak gadisnya pada pemuda itu. Hal ini bisa dilihat dari kalimat, “Dan yang terakhir aku suka pada pemuda itu. Siapa namanya?”
BACA JUGA: Jangan Sampai Gadis Anda Lebih dulu jadi Seorang Ibu
Keluarga pejuang itu tak muluk-muluk. Kehidupannya fokus pada keshalihan dan peningkatan kualitas diri, yang diutamakan dalam pernikahan adalah agama dan akhlak calon pasangannya. Sehingga tumbuh, berkembang, dan berkah kehidupannya.
Sepenggal kisah keluarga pejuang ini semoga jadi pelajaran bagi kita. Keluarga yang hidup sederhana, namun dunia kagum pada mereka. Pada ketulusan, kegigihan, dan perjuangannya. Mereka pejuang garis depan yang menggetarkan hati para penjajah.
Lantas kita? Ah, betapa jauh dibandingkan mereka. []