KEPUTUSANNYA memeluk Islam berawal dari kegagalan dirinya menjadi pegulat profesional. Ia bernama Ismail Chartier.
Lingkungan tempat ia tinggal merupakan kawasan peredaran narkoba yang diawasi mafia Irlandia. Tak heran, Ismail kecil sudah akrab dengan kekerasan.
Ibu dan ayahnya merupakan generasi pertama Amerika-Irlandia. Sementara, ia dan saudaranya merupakan generasi kedua yang diwajibkan mempelajari budaya Irlandia.
Oleh orang tuanya, diajari tarian, musik, dan kebencian akan kependudukan Inggris di Irlandia Utara.
Memasuki usia ke-20 tahun, Chartier menjadi anggota tim gulat Universitas Arizona. Sayang, impiannya mejadi pegulat kandas lantaran cedera punggung berkepanjangan. “Saya ingat hari itu, pelatih mengatakan saya tidak bisa menjadi pegulat. Sejak itu, saya begitu marah,” kenangnya.
Namun, Chartier tidak ingin larut dalam amarah. Ia mencoba beralih pada agama, dan memulainya dengan mempelajari berbagai agama.
Setelah mendalami beberapa agama, hatinya tidak menerima prinsip-prinsip agama tersebut.
Satu kesempatan, ia mengunjungi sebuah perpustakaan dengan rak bertuliskan Islam. Dalam rak itu terdapat buku Elijah Wood, Rumi dan Ghazali. Lalu ada Al-Quran terjemahan bahasa Inggris.
“Pertama kali melihat, saya begitu antusias. Setahu saya, buku ini menjadi pedoman Muslim. Saya harus baca kitab ini,” ujarnya.
Tidak mudah baginya untuk mempelajari Al-Quran. Ia terlebih dahulu mempelajari bahasa Arab. Ia katakan niatannya itu kepada istrinya yang selalu mendukungnya mencari kebenaran. “Saya ingin dan akan menjadi Muslim,” kata Chartier.
Semenjak ia mempelajari Islam, ia begitu merasakan kedamaian dan ketenangan. Pertama kali dalam hidupnya, ia merasa memiliki hati nurani. “Amarah yang selalu membebaniku hilang seketika,” ungkapnya.
Keputusannya memeluk Islam membuat keluarga besarnya marah besar. Chartier diasingkan oleh keluarganya. Walau begitu, ia tetap tenang menghadapi penolakan keluarganya. Prinsipnya, ia harus menjadi hamba yang baik dan tetap menghormati sikap keluarganya.
Tak butuh waktu lama, keluarga Chartier akhirnya menerima keputusannya itu. Hubungan mereka bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Orang tuanya bahkan begitu sayang dengan anak-anaknya. “Saya percaya, rasa hormat itu menyembuhkan penyakit hati. Hormati orang lain, ketika anda menginginkan dihormati,” kata Chartier.
Selanjutnya, Chartier mulai melangkah untuk berdakwah. Ia mendirikan organisasi yang bertujuan untuk menghindari anak-anak terjebak dalam kejahatan, seperti narkoba. “Islam menjadi rujukan organisasi ini,” pungkas dia. []
Sumber: kisah mualaf