Oleh: Fenfen Fenda Florena
florena_741@ymail.com
ALKISAH, di seberang Negeri Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya sangat besar. Seorang raja lewat rombongannya dekat kota itu; ia membawa pasukan dan pertempuran di gurun.
Raja itu memiliki gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang dan membuat rakyat kagum.
Penduduk kota sangat antusias ingin melihat gajah tersebut, dan beberapa dari mereka yang sangat kecil untuk mencariinya.
BACA JUGA: Duhai Pemuda, Tabayyun Dulu!
Karena sama sekali tidak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan mencari bagian-bagiannya. Masing-masing hanya memikirkan satu bagian, tetapi berpikir telah memahami sesuatu.
Orang buta pertama yang memulai gajah. Ia tersandung dan terkulai terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh, sekarang aku tahu!” Katanya, “Gajah itu seperti tembok.”
Orang buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat …,” katanya, “Gajah ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip tombak.”
Belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. “Kalian salah!” Jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”
Dirilis, orang besar “Ah!” Katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.”
Yang menunggu memegang telinga gajah. “Kipas!” Teriaknya, “Bahkan orang paling lemah pun tahu, gajah itu mirip kipas.”
Orang buta keenam, segera ditangkap sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya, “Gajah mirip dengan tali.”
Sekembalinya ke kota, orang-orang yang ingin tahu segera mengerahkan mereka. Orang-orang tidak sadar mencari tahu tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya memiliki tersesat.
Mereka bertanya tentang bentuk dan bentuk gajah, dan menyimak semua yang disampaikan.
Orang yang menubruk bagian tubuh gajah yang kokoh didukung tentang bentuk gajah. Ia menjawab, “Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan kokoh seperti tembok.”
Gajah yang berkata, “Engkau keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu lebih mirip tombak bulat, licin dan tajam.”
Orang yang meraba belalai gajah berkata, “Kalian bersama keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip ular menggeliat, berbicara dan suka merusak.”
BACA JUGA: Tali Kekang Gajah
Selanjutnya, orang yang memegang kaki gajah berkata, “Gajah itu kuat dan tegak, seperti batang pohon.”
Orang yang memegang telinga gajah berkata, “Gajah suka kipas, lebar dan kasar.”
Terakhir, orang yang memegang ekor gajah berkata, “Sudah kukatakan, kalian semua salah! Gajah itu berayun-ayun seperti tali!”
Demikianlah keenam orang besar itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah.
Mereka semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat seluruh hewan gajah itu sendiri.
Masyarakat pun ada yang percaya kepada satu dan tidak percaya kepada yang lain, ada juga yang tidak mempercayai kesemuanya dan ada sedikit yang bisa memahami seluruh pendapat orang-orang besar.
BACA JUGA: Jihad tanpa Didahului Adab
Cerita ini mengantarkan saya kembali ke masa lalu, saat saya duduk di bangku dua SMA. Cerita berulang kali ini digulirkan guru psikologi-yang juga guru pendidikan keguruan.
Saya heran, bertemu dengan dia sepekan dua kali rasanya tak pernah luput beliau mendongengi kami cerita gajah dan orang buta. Dia tidak pernah membahas atau menjelaskan hikmah tentang cerita itu.
Dan saya baru dapat menantang betul hari ini, di tengah kegentingan jiwa.
Terkadang saya mendapatkan banyak hal, padahal ilmu yang saya miliki hanya seujung kuku pun tidak mungkin. Karena ilmu di bumi Allah ini sangat luas.
Saat saya memecahkan sesuatu atau ilmu, terkadang hanya separuh-separuh tanpa menggenapi dan menyelesaikan yang kurang. Pada akhirnya, terjadilah salah kaprah dalam menyikapi bertentangan.
Begitu juga dengan dunia saat ini, mudah tersulut dengan isu separuh yang belum jelas kebenarannya. Dan tidak ada yang disetujui untuk mencari tahu lagi. Informasi yang diterima memang benar. []