DI antara nasihat mulia guru kami adalah, “Sertakan Allah dalam segala aktivitas.” Saat itu kami belum paham, sehingga nasihat ini hanya berupa catatan kecil dalam buku kumal dan murahan ala santri kampung.
Lalu kami beranjak dewasa dan atas kebaikan Allah berkesempatan mengenyam bangku sekolah, bangku kuliah. Di antara komentar yang kami dengar, “Kalau ke kelas jangan bawa-bawa agama.” Atau saat bersentuhan dengan beberapa organisasi, “Sudahlah gak usah ribet, kita ini orang terpelajar dan bebas nilai, jangan bawa-bawa agama ke ranah akademik.”
Otak dangkal saya kok gak sampai, ya? Jangan bawa-bawa agama? Maksudnya? Hmm, hidup ini kalau gak bawa agama, terus bawa apa dong?
BACA JUGA: Trauma Agama, Salahkah?
Apa jadinya orang yang tak bawa agama? Ateis. Kalau bergitu, untuk apa belajar, untuk apa berorganisasi? Hakikat ilmu adalah meneguhkan keyakinan pada Allah SWT, yang menuntun pada salimul akidah atau keyakinan yang bersih, benar dan tulus. Lalu menuntun pada shahihul ibadah atau ibadah yang baik, dan menjadikan pribadi yang berakhlakul karimah atau akhlak yang baik.
Jadi, belajar dengan menanggalkan agama itu bertentangan dengan hakikat ilmu. Selain itu, menanggalkan agama pada saat-saat tertentu, saat di kelas, saat berorgnisasi, diskusi, berdebat dan sebagainya, sangat bahaya. Kematian itu tak tahu kapan datangnya. Bagaimana kalau saat itu malaikat maut datang menjemput?
Sementara Allah mewanti-wanti kita melalui firman-Nya sebagaimana nasihat Nabi Ibrahim, “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Akhirnya mengerti nasihat guru kami, sertakan Allah dalam segala aktivitas. Inilah cara pandang yang benar dalam menjalani kehidupan. Mulai bangun tidur hingga tidur kembali, setap desah napas, kedipan mata, gerak langkah dan segala kegiatan senantiasa melibatkan Allah, meniatkan untuk ibadah.
BACA JUGA: Bolehkah Mengambil Upah dari Mengajar Agama?
“Jangan bawa-bawa agama!”
Hus, gak gitu bro!!!
Betapa kerancuan berpikir itu menjadi bagian yang perlu diluruskan, sebab tak tersesat setan dan orang-orang terdahulu yang mengikutinya, kecuali cara berpikir yang keliru. Setan berpikir diriya lebih baik karena tercipta dari api, semetara manusia dari tanah.
Padahal kalau dipikir dengan tenang, tentu lebih baik tanah dari api. Maksudnya? Korek api dari dulu harganya segitu-gitu aja, lha harga tanah tiap tahun naik terus. Eh, gimana ini?
[]