Oleh: Irfan Toni Herlambang
SUATU sore Zahra sedang duduk-duduk bersama ayahnya di ruang keluarga. Keduanya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Zahra, gadis kecil berumur 5 tahun itu, bermain dengan buku gambarnya. Sang ayah tampak tekun dengan majalahnya.
Sesaat kemudian Zahra mendekati ayahnya. Ia bertanya, “Ayah, ini gambar apa?” Belum lagi sang ayah menjawab, Zahra kembali bertanya, “Kok, hewan ini ada buntutnya?” Sang Ayah menyisihkannya majalahnya lalu dipeluknya Zahra. Dengan sabar ia jelaskan semuanya pertanyaan-pertanyaan sang anak. Beberapa lama berselang Ayah berkata, “Baik, kalau sudah selesai, ayo teruskan saja sendiri, ya sayang. Ayah sibuk.”
Zahra pun kembali ke tempatnya bermain. Namun, belum lima menit Zahra kembali “mengganggu” ayahnya dengan banyak pertanyaan. Tentang hewan dan hal-hal dari dunia khayalnya. Sang ayah tampak enggan melayani segala celotehan anaknya. Sebab, ia ingin sekali menyelesaikan bacaannya. “Ah, kalau saja aku bisa menyibukkan anak ini dengan pekerjaan lain,” gumam si ayah. “Tentu ia tak akan menggangguku lagi,” begitu pikirnya.
Aha, si ayah pun menemukan ide. Diambilnya majalah lama. Ia gunting gambar sebuah rumah. Lalu diguntingnya lagi menjadi beberapa bagian. Ia ingin membuat puzzle! Tapi, rasanya puzzle itu terlalu sulit bagi anak umur 5 tahun.
Sang ayah berkata kepada anak perempuannya itu, “Zahra, sekarang Ayah punya permainan. Ayo, coba susun kembali kertas ini jadi gambar rumah. Nanti, kalau sudah selesai, baru kamu boleh kembali ke sini.” Dalam hati sang ayah bergumam, hmm… tenanglah aku sekarang. Aku bisa menyelesaikan bacaanku dan ia pasti akan sibuk sekali dengan pekerjaan ini.
Tapi si ayah salah menduga. Belum lima menit Zahra telah kembali. “Aku sudah selesai!” Ayah pun bingung, bagaimana bisa ia menyelesaikan tugas sesulit itu? Ayah bertanya, “Bagaimana cara kamu menyusun gambar itu? Pasti kamu minta tolong Bunda, ya?”
Mata bulat gadis itu berbinar, “Nggak kok. Aku membuatnya sendiri. Sebab, dibalik gambar ini ada gambar boneka kesukaanku. Jadi, aku menyusun gambar itu saja. Ini, gambar bonekaku, aku senang sekali dengannya.”
Sang Ayah pun terdiam. Ia kalah dan harus siap melayani semua ocehan gadis kecilnya.
Teman, seringkali kita bersikap kepada anak-anak begitu naif. Kita kerap meremehkan daya pikir mereka. Kita yang sok dewasa sering berpendapat anak kecil bukanlah guru bagi kehidupan. Mereka hanyalah penganggu yang selalu mengusik ketenangan.
Namun sayang, kita salah. Zahra telah membuktikannya. Kita seringkali menganggap dunia ini sebagai sesuatu yang sulit.
Dunia, dalam pikiran kita, adalah potongan gambar-gambar yang tak runut. Potongan-potongan itu pulalah yang kita susun dengan perasaan takut.
Dunia, bagi kita, adalah tempat segala masalah bersatu. Dan kita merangkainya dengan hati penuh pilu. Dengan kata lain, dunia, bagi kita, adalah layaknya benang kusut yang penuh dengan keruwetan, ketidakteraturan, dan kesumpekan.
Dunia bagi kita yang mengaku dewasa adalah amarah, angkara, dengki, dendam, iri, dan maki serta tangis nestapa.
Padahal, kalau kita mau menjenguk sisi lain dunia, ada banyak keindahan yang hadir di sana. Ada banyak kenyamanan dan kesenangan yang mampu diwujudkannya. Ya, asalkan kita mau menjenguknya, melihat dengan lebih tekun dan jeli.
Mencermati setiap bagian dari dunia yang kita sukai. Jalin-jemalin kenyamanan yang dapat dirangkai dalam dunia, adalah sesuatu yang indah. Di sana akan kita temukan kesejukan, ketenangan, kesunyian, keteraturan, keterpaduan, dan segalanya, asalkan kita mau menjenguknya.
Jadi, rangkaian gambar dunia mana yang akan Anda susun? Dunia yang penuh angkara atau dunia yang penuh cinta? Dunia yang penuh duri atau dunia yang penuh peduli? Anda sendirilah yang akan merangkai potongan-potongan gambar itu. Rangkaian yang Anda pilih akan membentuk kehidupan Anda. Selamat merangkai potongan hidup Anda! []
Sumber: Majalah Saksi, Jakarta