SERANGAN brutal militer Israel di Gaza, Palestina, yang menewaskan ribuan orang memunculkan berbagai kisah pilu. Kisah kali ini datang dari perjuangan para ibu yang melahirkan dan merawat anaknya di tengah agresi militer yang dilakukan Israel.
Dilansir Al Jazeera, Kamis (7/3/2024), Aida al-Baawi merupakan perempuan Palestina berusia 29 tahun. Tiga pekan lalu di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa dia melahirkan putrinya. Persalinannya itu terasa sulit karena staf medis kekurangan anestesi untuk mengurangi rasa sakit saat Aida menerima jahitan.
Di tengah keterbatasan itu, Aida berhasil melahirkan putrinya dengan sehat dan selamat. Namun, masalah baru muncul. Seperti ibu-ibu lainnya di Gaza, Aida kesulitan mendapatkan popok untuk bayi mungilnya tersebut.
“Setiap hari adalah perjuangan untuk membeli popok untuk bayi perempuan saya, terutama dengan anak lain yang masih membutuhkannya,” kata Aida kepada Al Jazeera.
BACA JUGA:Â Invasi Penjajah Israel Akibatkan 30.717 Warga Gaza Tewas, 72.156 Terluka
Ibu empat anak ini bercerita sebelum perang biaya popok di Palestina hanya mencapai USD 10 (setara Rp 156.545). Kini popok di saat perang bernilai sekitar USD 80 (setara Rp 1.252.364).
“Bayangkan membutuhkan USD 75 hingga USD 80 hanya untuk popok. Apakah ini situasi yang berkelanjutan?” katanya
Aida tentu tidak menyerah dengan kondisi tersebut. Dia terus memutar otak agar kebutuhan popok bayinya bisa terpenuhi. Tidak jarang perempuan tersebut harus pergi ke kamar bayi di rumah sakit terdekat berharap masih ada sisa popok yang bisa dipakai.
Di lain waktu, dia mengeringkan popok bekas di bawah sinar matahari. Aida berharap dapat menggunakannya kembali meskipun ada dampak buruknya terhadap kebersihan.
Setali tiga uang dengan yang dialami Aida, ibu di Gaza lainnya bernama Nariman Abu al-Saud juga membagi kisah perjuangannya melahirkan anak di tengah agresi Israel. Nariman melahirkan seorang putri pada 9 Oktober 2023 lalu, atau tepat dua hari perang di Gaza dimulai.
Nariman mengeluhkan melonjaknya harga makanan bayi di masa perang. Dia mengatakan kesulitan membelikan makanan untuk anak-anaknya.
“Dengan harga saat ini, saya bahkan tidak bisa membeli makanan untuk anak-anak saya,” katanya.
“Bayi perempuan saya mengalami infeksi kulit yang parah karena saya tidak bisa mendapatkan popok,” katanya.
“Bahkan tidak ada susu formula bayi,” sambungnya.
Nariman mengaku serangan Israel bukan hanya berdampak pada masyarakat di Gaza saat ini. Namun, serangan tersebut juga mengancam masa depan generasi muda Palestina.
“Menyediakan susu dan popok telah menjadi neraka bagi kami,” ujarnya.
“Perang ini adalah perang terhadap anak-anak kita dan kehidupan mereka. Apa yang mereka lakukan hingga harus menanggung kondisi seperti itu?” sambung Nariman.
Kisah perjuangan lainnya datang dari Shaima Shinar, yang melahirkan anak pertamanya selama masa perang. Shaima mengatakan ibu mertuanya harus memotong pakaian untuk dijadikan popok bagi anaknya.
“Saya tidak punya pilihan. Itu tidak mudah karena bahannya tidak nyaman, menyebabkan iritasi dan lecet pada kulit,” ujarnya kepada Al Jazeera.
“Saya juga perlu mencucinya terus-menerus. Seperti yang Anda lihat, kami tinggal di tenda dan tidak ada air,” sambungnya.
Shinar melarikan diri dari Kota Gaza ke Deir el-Balah untuk menghindari pertempuran. Dia melakukan kunjungan singkat ke Mesir hanya dua minggu sebelum konflik dimulai, tanpa mengetahui bahwa waktu kepulangannya akan menjadi bencana bagi dirinya dan anaknya yang belum lahir.
“Saya tidak pernah membayangkan seumur hidup anak saya akan lahir dalam kondisi seperti itu,” kata Shinar.
“Bagaimana mungkin saya tidak bisa menyediakan popok untuk anak saya? Tidak bisa menempatkannya di tempat tidur yang bersih dan tempat yang bersih daripada di tenda yang dingin ini?” sambungnya.
Kelahiran anak di masa perang merupakan momen pertamanya sebagai ibu. Masa yang harusnya terasa istimewa itu justru berakhir tragis baginya. Shinar mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan untuk anak semata wayangnya tersebut.
BACA JUGA:Â Buntut Invasi Penjajah Israel, Warga Gaza Terpaksa Makan Pakan Ternak
“Anak saya menderita dalam segala aspek. Saat ini, dia sedang flu dan saya tidak bisa membeli obat, dan tidak ada pakaian atau popok,” ujarnya.
Ibu baru ini menjelaskan bahwa dia sering berpindah-pindah institusi untuk mencari bantuan tetapi tidak berhasil.
“Kemarin bayi saya kehabisan ASI. Saya pergi ke salah satu tenda untuk mengambil dua sendok susu untuk memuaskan rasa laparnya. Kami orang dewasa bisa menanggungnya, tapi bagaimana dengan anak-anak?”kataShinar. []
SUMBER: DETIK