BELAKANGAN ini, ada keluarga jauh yang sering mempertanyakan jilbab saya, hanya karena ia sering menonton sebuah sinetron. Entah, apakah etis jika saya menuliskan judul sinetronnya atau tidak. Yang pasti, salah satu pemeran sinetron itu; istri seorang aktor asal yang belakangan sudah hijrah.
“Kamu lihat kan, jilbabnya tetap trendi? Padahal suaminya sekarang berjenggot lebat dan bercelana gantung…”
BACA JUGA: Rotor; Musik Metal, dan Dakwah Islam Non Komersial
“Sudahlah, kamu tak perlu berjilbab terlalu besar. Ia berjilbab bercelana panjang juga tuh..?”
“Kalau pakai baju bagus, jilbabnya dipendekin dikit biar kelihatan gamisnya, biar kerenan dikit lah…”
Begitulah sedikit dari banyak kata si keluarga jauh. Bosan? Iya, bosan juga. Jengah? Iya pakai banget. Namun, yang bisa saya lakukan hanya berdo’a dan sesekali memberinya argumen-argumen juga berusaha tetap tenang dengan provokasi-provokasinya.
“Istri aktor hijrah itu bukan panutan seorang muslimah, melainkan al-qur’an dan hadits. Kalaupun ia berbuat yang tak sesuai dengan tuntunan agama, itu semata-mata berasal dari dirinya sebagai hamba yang dhoif…” jawabku sekali waktu.
Yah, masih banyak muslim yang mengira sinetron adalah panutan hidupnya. Parahnya, mereka berpikir bahwa orang lain juga harus sama dengannya. Utama,nya orang-orang dekatnya seperti keluarga. Hingga berusaha keras memprovokasi mereka.
BACA JUGA: Goodbye, Mr. Adam Lavine!
Bahkan, ada seorang tetangga yang rela repot mengurus beberapa dokumen, hanya karena ingin mengganti nama anaknya menjadi nama dua artis perempuan negeri ini. Nama-nama yang ia sukai karena sering muncul di layar kaca. []