Oleh : Raidah Athirah, Penulis, Muslimah tinggal di Norwegia
ADA beberapa hal yang cukup menarik di Norwegia. Salah satunya adalah mengenai gaya pejabat. Ingat sosok pejabat, hal yang menarik adalah protokolernya. Selama di Polandia bila pejabat berkunjung ada semi protokolernya walaupun tidak seheboh yang biasa terjadi di tanah air.
Di Norwegia ini yang paling menarik. Bahkan dalam satu even resmi yang dihadiri pejabat kota ,jujur saya bingung membedakan mana masyarakat biasa mana kaum pejabat.
Ingatan saya selalu melekat dengan gaya protokoler di tanah air yang meriah dan bikin pingsan. Waktu zaman SD setiap pejabat mau datang atau berkunjung singkat pasti anak SD seperti saya ikut memegang bendera, berjemur di jalanan sampai arak-arakan dan suara maung ambulans hilang.
BACA JUGA: Jumlah Warga Norwegia yang Masuk Islam Semakin Meningkat
Di sini (Norwegia maksudnya), pejabat negara disambut sederhana. Suara ambulans tentu saja hanya digunakan untuk memberi tanda darurat agar orang-orang di jalan memberi ruang dan waktu untuk mobil ini melaju duluan. Bandingkan dengan gaya pejabat di negeri kita. Boleh saya kata gaya protokoler di negara kita memang paling “boros”.
Selama di sini, saya tidak pernah melihat penyambutan mewah yang menguras dana dan tenaga banyak orang. Bukankah dalam Islam pejabat seharusnya seperti ini? Pemborosan dalam protokoler adalah gaya syaitan.
Kalau kedatangan setiap pejabat protokolernya superheboh, kapan slogan pejabat adalah pelayan rakyat bisa terjadi. Mungkinkah pejabat kita yang terhormat mau belajar dari gaya pejabat Norwegia?
Sulit memang mengubah gaya pejabat. Pejabat di negeri kita memang sudah terbiasa dengan tipe ” dilayani ” bukan ” melayani “. Saya bukan pesimis ,hanya saja kalau pejabat Indonesia mau merendahkan diri dan belajar, kepercayaan masyarakat pasti tumbuh dan bertambah.
Pejabat Indonesia perlu mencontoh gaya blusukan yang dilakukan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg yang menyamar menjadi sopir taksi untuk mencari tahu aspirasi rakyatnya.
Nilai kejujuran dari blusukan seperti ini patut diacungi jempol. Perdana Menteri ini menjadi supir taksi, mengenakan seragam, mengantar sebagian warganya ke tempat tujuan sambil membahas isu-isu terkini selama perjalanan.
Mungkin pejabat kita sungkan seperti ini. Solusi yang lain adalah mencoba datang ke daerah -daerah terpencil dan hidup bersama warga. Sistem pejabat silang. Contohnya, pejabat daerah A datang ke daerah B yang terpencil grin emoticon Ini memang ide ngawur tapi di zaman serba minim kepercayaan setidaknya ada ikhtiar.
Pejabat yang sok-sokan dan bangsat (memerintah tanpa adab/attitude) seharusnya meminta maaf karena Anda digaji untuk menjaga rakyat bukan mengeksploitasi.
Norwegia sebenarnya adalah negara multikultur. Efek gesekan antarmanusia pasti ada antara penduduk asli Norwegia dan para pendatang. Akan tetapi, hukum yang kuat itulah yang membuat masyarakat patuh. Siapa dulu yang memulai? Ya para pejabat.
Dimulai darimana? Ya dari pemerintah. Dan hal yang patut ditiru oleh masyarakat kita adalah jangan membiasakan diri menyembah pejabat. Segala hal yang pejabat bisa lakukan,biarkan mereka melakukan sendiri. Masyarakat Norwegia sudah terbiasa dengan pejabat publik yang berbelanja sendiri, datang tanpa protokoler yang superheboh berlapis-lapis. Sekelas kerajaan pun gayanya tetap elegan.
Semenjak di sini pula saya belajar hal-hal yang seharusnya kita sebagai Muslim praktikkan yakni kesederhanaan. Ingat! Norwegia juga negara minyak tapi masyarakat tidak pernah melihat pejabat yang menikmati hasil minyak sendiri. Semua sama rata. Buktinya pelayanan kepada masyarakat sama dengan pejabat.
BACA JUGA: Mengapa Norwegia?
Dengan bahasa kasar saya katakan saya benci aksi para bedebah (pejabat) yang minta dilayani dengan baik di sektor publik. Kesemrawutan ini hasil manajemen Anda sebagai pejabat, jadi sepatutnya sebagai pejabat Anda adalah orang terakhir yang harus dilayani atau kalau mau adil, terimalah nasib Anda seperti masyarakat kebanyakan.
Masyarakat harus berani menegur bila ada pejabat yang arogan dan sok-sokan .Kita sama-sama manusia .Saling menghormati harus .Saling menasihati pasti karena begitulah seharusnya manusia memanusiakan manusia.
Tak perlu malu untuk belajar. Itupun kalau mau karena biasanya sifat sombong dan tinggi hati yang selalu menghalangi. Wajar kalau kita masih disebut negara berkembang karena bagaimanapun pejabat kita mewakili karakteristik negara berkembang. Bila ingin maju, jargon mengenai revolusi mental harus ditunjukkan terlebih dahulu oleh kaum pejabat .Bagaimana? []