PERHELATAN akbar Muhammadiyah tahun ini kian dekat. Gegap gempita penyambutannya meriah di setiap daerah. Muktamar Muhammadiyah ke- 48 yang akan diadakan di Solo pada November ini disambut hangat tidak hanya di Solo, tapi juga di berbagai daerah. B
erbagai acara diadakan oleh masing-masing Pimpinan Daerah Muhammadiyah dengan ragam kegiatan yang menarik. Gerak jalan sehat, bazar produk UMKM, tabligh akbar, dan bakti sosial adalah sebagian acara yang diadakan untuk menyambut Muktamar.
Selain itu, berbagai acara seni budaya juga ikut menyemarakkan serangkaian kegiatan penyambutan Muktamar. Sebagai contoh, PD Muhammadiyah Bantul menggelar pentas seni dan budaya dalam penyambutannya.
Ragam seni serta budaya yang diselenggarakan antara lain Pameran Lukisan Anak, Panggung Puisi & Sastra, Launching Ontologi Puisi, dan Dialog Seni dan Budaya. Penampilan angklung dan keroncong tak luput ikut memeriahkan acara tersebut.
Apresiasi seni juga nampak di acara puncak Muktamar. Rencananya, pada Malam Mangayubagyo Muktamar Muhammadiyah akan dilakukan Penyerahan Anugerah Kebudayaan kepada 3 Maestro Keroncong Solo, yakni Pak Gesang (alm.), Bu Waldjinah, dan Didi Kempot (alm.). Ketiganya dianggap sebagai seniman musik asli Solo yang berjasa besar bagi perkembangan musik keroncong, langgam, dan campursari di tanah air.
Geliat Seni Budaya di berbagai acara Muktamar menunjukkan bahwa Muhammadiyah menerima kearifan budaya.
Dalam perspektif budaya yang berkaitan dengan tradisi lokal keislaman, Muhammadiyah sering dikritik sebagai gerakan budaya yang kering dan cenderung anti terhadap budaya lokal. Hal ini tentunya bisa jadi menjadi masukan agar Muhammadiyah berbenah dan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas, salah satunya melalui seni dan budaya.
Jika selama ini sejumlah penilaian diberikan kepada Muhammadiyah sebagai gerakan civil society, gerakan keagamaan, ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan, maka selanjutnya perlu ditambah sebagai perspektif budaya.
BACA JUGA: Peristiwa 23 Februari, Wafatnya Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan
Menurut Hasyim¹, indikator yang dapat dilihat untuk menilai Muhammadiyah sebagai gerakan budaya diantaranya adalah, pertama, gerakan Muhammadiyah telah menjadikan nilai-nilai dari akar semua budaya sebagai sasaran utama yang perlu dirubah, misalnya merubah nilai yang semula sinkretis (campur aduk antara nilai Islam dengan bukan Islam) menjadi nilai yang Islami.
Kedua, Muhammadiyah menjadikan sektor pendidikan sebagai instrumen untuk perubahan masyarakat.
Ketiga, Muhammadiyah telah berhasil mengembangkan potensi seni budaya masyarakat (modern) yang merupakan alternatif pada zamannya, misalnya beladiri Tapak Suci, seni teater muslim, sastra dari puitisasi terjemahan Al Quran, dan lain sebagainya.
Keempat, pada awal perkembangannya, sebenernya Muhammadiyah cukup akrab dengan berbagai potensi seni budaya tradisional (lokal) seperti wayang, gending Jawa, ketoprak muslim, reog dan tari dengan kostum menutup aurat, dan lain sebagainya.
Hubungan dengan seni budaya memburuk ketika pada tahun 1960an seni tradisi lokal banyak mengalami politisasi dan dijadikan alat perjuangan politik untuk melawan serta menjelekkan citra umat Islam.
Merujuk sejarah, “Dakwah Kultural untuk Pencerahan Bangsa” menjadi tema sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar pada tahun 2002. Ketua PP Muhammadiyah saat itu, Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam majalah Suara Muhammadiyah edisi No.2/Th.ke-87/16-31 Januari 2002, mengungkapkan bahwa tema tersebut merupakan paradigma baru dan komitmen Muhammadiyah sebagai bagian dari anak bangsa guna membantu dan mengatasi kondisi bangsa Indonesia yang tengah tercabik-cabik oleh krisis multidimensional.
Selanjutnya, Sidang Tanwir Muhammadiyah Makasar 2003 merekomendasikan dakwah kultural sebagai pendekatan sekaligus metode dakwah di Muhammadiyah.
Melalui sidang Tanwir tersebut, Muhammadiyah memantapkan metode dakwah kultural ke depan agar menampilkan pola pemahaman agama secara santun terhadap lokalitas. Setelah pencanangan strategi dakwah kultural, Muhammadiyah bersikap lebih toleran, lapang dada, mau menerima dan menghargai adanya budaya lokal.
Menurut Muarif ², dakwah kultural dapat dipahami sebagai pendekatan sekaligus metode untuk menyikapi keberadaan lokalitas secara arif. Perspektif dakwah kultural yang digunakan untuk memahami keberislaman umat bukan atas dasar purifikasi, melainkan lebih mengakui khazanah budaya lokal.
Dalam aplikasi praktisnya, dakwah kultural membutuhkan keberadaan lokalitas sebagai medium penyampaian ajaran islam. Dalam hal ini, dakwah kultural lebih memposisikan kebudayaan lokal sebagai medium untuk memperkenalkan ajaran islam secara murni melalui proses berkelanjutan.
Melalui metode purifikasi, dakwah Muhammadiyah terkesan kurang apresiatif terhadap budaya lokal. Akibatnya, dakwah Muhammadiyah terkesan sangat garang dalam memberangus budaya lokal.
Melalui dakwah kultural, budaya lokal dapat dijadikan medium penyebaran ajaran islam dengan tetap memperhatikan beberapa aspek kebudayaan yang dipandang bersebarangan dengan ajaran islam agar berangsur-angsur senafas dengan ajaran islam.
BACA JUGA: Fatmawati, Kreator Sang Saka Merah Putih dari Muhammadiyah
Sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan kegiatan terhadap apesiasi seni, maka Muhammadiyah perlu menggalakkan kegiatan pentas seni budaya, lomba-lomba, dan sarasehan budaya di Seluruh Indonesia.
Sudah sewajarnya apabila Muhammadiyah melalui dakwah kulturalnya mulai memperhatikan dan memberikan semangat untuk membangkitkan kembali budaya lokal, terutama yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran islam, khususnya persoalan akidah.
Ketika geliat budaya kelihatan, maka hal ini menjadikan gerakan Muhammadiyah dikenal oleh masyarakat luas sebagai gerakan yang ramah budaya. []
_________
1.Hasyim, Mustofa W. “Menjadikan Muhammadiyah Sebagai Organisasi yang Ramah Budaya” dalam Soeratno,dkk., “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya : Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan”, 2009
2.Mu’arif . “Dakwah Kultural : Mencermati Kearifan Dakwah Muhammadiyah” dalam dalam Soeratno,dkk., “Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya : Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan”, 2009