MAKSIATĀ adalah api; ia menunggui dan Akan menyambut ahlinya di akhirat nanti. Taubat adalah air; sederas hujan, selembut embun, sesejuk salju.
Dan kita adalah tanah. Yang dengan siraman hujan menjadi subur. Yang dengan tetesan embun menjadi berkilau. Yang dengan selimut salju menjadi berrehat.
“Al Quran telah menunjukkan pada kalian penyakit kalian dan obatnya,” ujar Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib.
“Penyakit kalian adalah dosa. Obatnya adalah istighfar.”
Maka surga adalah “kebun”, tempat segala yang baik berakar, tumbuh, mekar, dan berbuah segar. Maka di bawahnya mengalir sungai-sungai; mengalun sesuci susu, bergemericik semanis madu, berriak sesemarak khamr murni.
AmpunanNya adalah kebersihan, kesejukan, kenikmatan.
“Bagaimana pendapat kalian,” tanya Nabi ļ·ŗ pada para sahabatnya, “Tentang seseorang yang di bawah rumahnya mengalir sungai, lalu setiap hari dia turun mandi ke sana lima kali banyaknya, maka masihkah tersisa kotoran di badannya?”
“Tentu tidak ya Rasulallah ļ·ŗ.”
“Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu bagi ahlinya. Ia membersihkannya dari dosa-dosa.”
Maka benarlah beliau ļ·ŗ dalam sabda shahih yang direkam Imam Muslim, “Shalat yang lima, Jumat ke Jumat dan Ramadhan ke Ramadhan; adalah penghapus bagi segala dosa di antaranya, selama dijauhi dosa-dosa besar.”
Mari hadirkan gemericik dalam hidup kita, seperti lesung yang diisi air hingga penuh di Imari-Shi ini, lalu menumpahkan semuanya untuk menghadirkan ketuk bunyi yang syahdu. Begitu berulang-ulang, seperti daur istighfar, taubat, dan shalat kita, hingga dengung doa-doa terangkat ke sisiNya Yang Maha Mulia.
Dan ungkapan Imam Ibn Rajab itu bergema lagi, “Jika kalian tak mampu bersaing dengan para shalihin dalam ‘amal ibadahnya, berlombalah dengan para pendosa dalam istighfarnya.”
Sebab kita wajib beristighfar saat merasa berdosa, dan berlipat perlunya istighfar itu saat kita tak merasa berdosa. Maka taubat kita masih perlu ditaubati, bahkan istighfar kita masih perlu diistighfari. []