TANPA sorotan gencar media internasional, pemilihan umum di Thailand berlangsung relatif aman dan lancar. Hasilnya, sangat mengejutkan karena tokoh muda (Pita Limjanroenrat) yang memimpin partai baru (Move Forward Party) tampil sebagai pemenang. Tak tanggung-tanggung, Pita mengalahkan Pheu Thai Party yang dipimpin keluarga konglomerat (Paetongtarn Shinawatra), serta Palang Pracharat Party dan United Thai Party yang didukung junta militer.
Pemilih Thailand berjumlah 52 juta orang, sekitar 7,3 juta pemilih berusia 18-26 tahun atau 14 prosen dari total pemilih. Di tengah pertarungan antara pendukung junta militer dan konglomerat konservatif, ternyata tokoh muda mendapat kepercayaan besar dari rakyat Negeri Gajah Putih. Masyarakat Thailand bersikap cukup rasional, sudah bosan dengan pertarungan kepentingan militer versus konglomerat, dan memilih sosok baru yang menjanjikan perubahan.
Namun perjuangan menjadi PM Thailand tidak mudah, sebab tak hanya 500 anggota DPR (Majelis Rendah) yang dipilih langsung rakyat akan menentukan figur PM, melainkan ditentukan pula suara Majelis Tinggi (Senat) yang berdasarkan konstitusi tahun 2017, sekitar 250 anggota Senat ditunjuk oleh militer dan sekutu penguasa. Pemenang pemilu Thailand harus mampu bernegosiasi dan berkompromi untuk membangun koalisi pemerintahan. Apakah Pita akan berkoalisi dengan dinasti Shinawatra? Atau bisa jadi Paetongtarn justru berkoalisi dengan pendukung militer demi menghadang pendatang baru di panggung politik? Disamping itu, jangan lupa restu dari Raja Thailand akan tetap menentukan.
Demokrasi di Thailand sangat rentan dengan ancaman kudeta militer.
Sosok Jenderal Prayuth Chan-ocha menggulingkan PM Yingluck Shinawatra dalam kudeta tahun 2014, kemudian sejak 2019, Prayuth (69 tahun) memimpin koalisi multipartai untuk menjabat Perdana Menteri. Prayuth kini maju pemilu dengan bendera United Thai Party.
Sosok popular, Paetongtarn (36 tahun) adalah puteri dari konglomerat Thaksin Shinawatra yang pernah menjabat PM Thailand dan sekarang hidup dalam pengasingan di Eropa. Dengan dana besar, pendukung dinasti Shinawatra berkampanye hingga pelosok pedesaan dan elektabilitasnya unggul menurut berbagai lembaga survei. Karena Paetongtarn dipandang kurang pengalaman, maka ia didampingi oleh Srettha Thavasin (60 tahun) kandidat cadangan yang dikenal sebagai penguasa properti.
BACA JUGA:Â Di Thailand, Ada Klinik Jasa Tato Telapak Tangan untuk Mengubah Nasib
Di tengah kompetisi sengit dua kubu saling berseteru itu, Pita (42 tahun) mantan CEO perusahaan aplikasi transportasi online Grab, menyeruak. Partai Bergerak Maju merupakan satu-satunya partai yang berani mendorong amandemen konstitusi soal penghinaan terhadap kerajaan yang dipandang tabu dan memiliki ancaman hukuman 15 tahun penjara. Pita adalah sarjana lulusan Universitas Thammasat, dan melanjutkan studi pasca bergelar ganda di MIT serta Harvard University. Kampanye utamanya tentang pembinaan wirausaha mikro, pembatasan monopoli dan mengakhiri wajib militer bagi kaum muda. Pita pertama kali masuk parlemen periode 2018-2020 melalui Partai Masa Depan Baru yang akhirnya dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 21 Februari 2020. Partai itu beraliran progresif dengan tuntutan utama merombak peran militer dalam politik, mendesentralisasikan birokrasi dan mendorong kesetaraan sosial dan ekonomi.
Adalagi figur Anuthin Charnvirakul (56 tahun), Menteri Kesehatan Thailand yang mengawasi penerapan kebijakan lockdown saat pandemi Covid-19 terjadi. Ia mendapat apresiasi atas kebangkitan ekonomi dan pariwisata Thailand melalui program vaksinasi untuk perjalanan publik. Anuthin melalui Partai Bhumjaithai juga popular karena promosi legalisasi ganja untuk kebutuhan medis.
Sosok gaek lain adalah Prawit Wongsuwan (77 tahun), Wakil PM di bawah kepemimpinan PM Prayuth. Prawit maju dari Partai Palang Pracharat, setelah Prayuth keluar dan membentuk partai sendiri. Kekalahan militer dalam pemilu antara lain karena terpecah kongsi dan berebut kekuasaan sesama petinggi mereka sendiri.
Hasil sementara pemungutan suara adalah Move Forward Party (151 kursi), Pheu Thai (141 kursi), Bhumjaithai (70 kursi), Palang Pracharath (41 kursi), United Thai Nation (36 kursi), dan Democrat Party (25 kursi). Partai-partai lain memperoleh kurang dari 10 kursi. Jika Pita dan Paetongtarn berkoalisi, maka akan membentuk pemerintahan mayoritas di parlemen. Apakah dinasti Shinawatra mau dipimpin oleh sosok muda politisi baru, masih harus dicermati dinamika politik ke depan. Yang jelas, pergeseran politik di Thailand akan cukup berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, dimana populasi generasi muda (40 tahun ke bawah) sangat besar, termasuk di Indonesia.
Salah seorang pemikir yang menelaah realitas sosial dalam konteks perubahan dan keberlanjutan adalah Piere Bourdieu (2012). Pemikir Perancis itu mengkonseptualisasi realitas sosial sebagai arena (field) pertarungan antar aktor untuk memperebutkan sumberdaya (capital) yang terbatas. Sikap dan tindakan aktor ditentukan oleh habitus, watak yang menetap sebagai buah dari pengalaman dan pengetahuan sepanjang hidupnya berinteraksi dengan lingkungan. Tiap aktor akan menyusun strategi dan mereproduksi tindakan untuk mencapai kepentingannya, yaitu mendominasi arena. Kerangka Bourdieu itu bisa menjelaskan sikap militer dan konglomerat di Thailand dalam memperebutkan kekuasaan dan mengejar restu sang Raja.
Bourdieu tidak hanya bicara tentang stabilitas dan kontinuitas arena, melainkan juga kemungkinan terjadinya patahan atau retakan (ruptures) dalam relasi sosial antar-aktor serta krisis yang mungkin terjadi dalam arena sosial.
BACA JUGA:Â 5 Hotel Syariah di Thailand, Cocok buat Muslim Traveler
Pandangan Bourdieu bersumber dari pengaruh filsafat Heidegger, Flaubert dan Manet, disamping itu juga berdasarkan observasi dan pengalaman nyata lapangan ketika berdinas militer di Aljazair pada era 1950. Bourdieu mengamati perubahan perilaku petani Aljazair ketika bangsa Perancis datang membawa kolonialisme dan kapitalisme. Dari pengalaman dan refleksi itu, Bourdieu merumuskan perubahan struktural (social transformation) sebagai konsekuensi lanjut dari pergeseran orientasi individu aktor yang disebut metanoia (Grenfell 2022).
Dalam konteksi dinamika politik Thailand, ada sejumlah faktor yang memunculkan gempa politik. Pertama, perseteruan antara kubu militer dan konglomerat Shinawatra membuat kekecewaan dan kejenuhan publik meluas, rakyat ingin mencari alternatif. Kedua, perpecahan di tubuh militer ketika terkait penguasaan sumberdaya dan otoritas kuasa menunjukkan tak ada kawan abadi dan kepentingan personal/faksi yang lebih mendominasi. Kalangan pengusaha juga sudah muak dengan dominasi kelompok bisnis Shinawarta, dan memanfaatkan posisi politiknya untuk menarik simpati rakyat bawah. Mereka menuntut iklim usaha yang lebih egaliter dan terbuka. Kondisi politik dan ekonomi Thailand diperparah dengan posisi dan peran monarki yang semakin melemah karena figur Raja yang tidak berwibawa, Maha Vajiralongkorn tak dapat mewarisi kharisma Raja Bhumibol Adulyadej yang mangkat enam tahun lalu.
Penulis pernah berdialog dengan seorang aktivis kemanusiaan (perempuan) dan juga akademisi muda Thailand (yang melakukan riset kontraterorisme di Indonesia), yang tidak mungkin disebut namanya, mengenai pengaruh Raja yang melemah karena di kalangan para ratu dan mantan permaisuri juga ada yang berpolitik.
BACA JUGA:Â Menengok Masjid Jawa, Masjid Tertua di Thailand
Faktor terakhir adalah tampilnya generasi muda dengan wawasan baru dan kepentingan yang mampu diakomodasi dan dimobilisasi oleh Partai Bergerak Maju. Sebenarnya partai berlogo arah mata angin berwarna oranye itu didirikan oleh seorang pengusaha (Thanathorn Juangroongruangkit), namun anggota parlemen Thailand yang tergolong paling kaya (berdasarkan laporan Komisi Nasional Antikorupsi Thailand) itu dengan cerdik mendorong sosok Pita Limjanroenrat untuk tampil ke publik.
Pita dikenal sebagai pegusaha muda yang merintis karir dari bawah dengan membangun start up Agrifood dalam bidang pertanian. Nama Pita mulai menarik perhatian saat debat di parlemen terkait masalah pangan dan pertanian di Thailand yang menjadi komoditas unggulan.
Kiprah pemimpin muda di pentas global dan agenda perubahan yang dibawanya patut diamati lebih serius: mulai dari Emmanuel Jean-Michel Frederic Marcon yang menjadi Presiden Perancis sejak 2017 (waktu itu berumur 40 tahun), lalu Jacinta Kate Laurell Ardern yang terpilih sebagai PM Selandia Baru pada 2017 (saat itu 37 tahun), dan Sanna Marin yang terpilih sebagai PM Finlandia termuda sejak 2019 (berusia 34 tahun). Khusus kinerja Marin, ada yang tak patut ditiru yaitu suka berpesta pora dan dikabarkan bercerai dengan suaminya. []