Oleh: Mahmud Budi Setiawan
Penulis Bina Qolam Indonesia
MENJADI mulia merupakan impian banyak orang, sedangkan menjadi hina merupakan momok banyak orang. Namun dalam mempersepsikan kemuliaan masing-masing orang berbeda-beda pendapat.
Kemuliaan didefinisikan menurut idiologi atau world view (pandangan hidup) yang mendominasi alam pikirnya. Orang beridiologi kapitalis materialistis akan memandang bahwa orang dikatakan mulia ialah yang memiliki fisik yang indah, memiliki harta banyak, kedudukan tinggi dan berbagai atribut penilaian materil lainnya.
Adapun Islam sebagai agama kamil (sempurna) dan mutakaamil (paripurna) memandang bahwa kemulian itu bukan terutama terletak pada materi tapi pada kontribusi; terutama pada amal bukan omel; terutama pada kerja, bukan sekedar kata; terutama pada karya bukan sekedar retorika; terutama pada takwa bukan pada harta ataupu tahta. Maka generasi yang ingin dibentuk Islam ialah generasi yang pengamal bukan pengomel, pekerja bukan pengata, pejuang bukan.
BACA JUGA: Jangan Biarkan Generasi Muda Berpaling dari Al Qur’an
Allah menyatakan: Yang telah menjadikan kematian dan kehidupan untuk menguji siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya. Pada kesempatan lain Allah berfirman: sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling bertakwa. Jadi sekali lagi standar kemulian bukan terutama pada kuantitas materil tapi pada kulitas maknawi berupa ketakwaan.
Coba kita menyusuri sejarah emas sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Pernahkah anda mendengar sahabat yang bernama Julaibib yang berasal dari kaum Anshar. Mungkin anda sekalian merasa asing dan hampir-hampir tak mengenalnya. Julaibib adalah sahabat mulia yang syahid dan dapat kemuliaan pernyataan dari Nabi: Julaibib (bagian) dariku dan aku bagian darinya. Bayangkan bila anda hidup semasa Nabi dan diberi pernyataan dan ungkapan semacam itu.
BACA JUGA: Amalan-amalan Ini Menolong Manusia setelah Meninggal Dunia (1)
Anda tentu merasa syukur dan gembira. Lebih dari itu mungkin anda membayangkan, kenyataan bahwa Julaibib mendapat kemulian semacam itu berbanding lurus dengan bentuk fisiknya. Kesan pertama ketika anda melihatnya hanya dari ukuran fisik mungkin anda tidak akan bersimpati atau bahkan lari. Gambaran fisiknya: wajahnya sangat jelek dan berbadan pendek. Tidak ada satupun yang menarik dari fisiknya.
Bahkan ketika Rasulullah menawarkannya nikah pada orang lain banyak sekali yang menolaknya, meski pada akhirnya ada yang mau, namun sekali lagi bukan karena keindahan fisik. Pernah juga ia menyatakan pada Rasulullah sewaktu ditawari nikah: kalau begitu engkau akan mendapatiku tidak akan laku. Rasulullah membesarkan hatinya dengan ungkapan: hanya saja engkau di mata Allah bukanlah orang yang tak laku.
Julaibib secara realistis mengakui dan tahu diri, mana mungkin ada wanita yang mau sama dirinya, hingga menilai dirinya sebagai barang tak laku. Namun Rasulullah memberi pelajaran penting padanya bahwa yang menjadikan orang bernilai dan laku itu bukan karena fisik tapi kinerja.
Pada akhirnya, Julaibib mendapatkan takdir kemuliaannya dan syahid di jalan Allah. Itu semua karena amal dan kontribusi tulusnya dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam.
Kenyataan lain yang senada dengan yang di atas ialah: bahwa Bilal bin Rabbah meski hitam dan jelek namun karena konsistensi dan kedawaman amalnya, ia mendapat kemulian berupa suara terompahnya sudah terdengar di surga meski pada waktu itu dia masih di dunia; bahwa ibnu Mas`ud yang memiliki fisik kecil dan pincang mendapat kesaksian Nabi: kaki ibnu Mas`ud bila ditimbang lebih berat ketimbang gunung Uhud; bahwa Zaid bin Haritsah yang memiliki fisik kurang menarik namun karena kerja dan amalnya beliau mendapat kemulian menjadi hibbu an-nabi (kesayangan Nabi); bahwa `Amru bin al-Jamuh meski pincang dan tua renta tak menghalanginya mandapat kemulian syahid di pertempuran Uhud.
Kesemuanya memberikan arti penting pada kita bahwa generasi yang dibentuk dan dikader oleh Rasulullah ialah generasi yang berbingkai takwa. Mereka lebih mengutamakan amalan terbaik ketimbang sibuk terhadap urusan materil dan fisik. Mereka lebih mengutamakan kinerja dan kontribusi daripada sekedar retorika. Mereka lebih mengutamakan penilaian hakiki Tuhan daripada penilaian relatif orang.
Dengan demikian sangatlah layak dan pantas ketika Rasulullah menyatakan: sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Karena yang dibangun Rasul bukanlah genarasi yang banyak omong tapi banyak berjuang; banyak amal bukan banyak omel. Dengan demikian orang yang pingin melahirkan generasi seperti mereka, sudah barang tentu harus menapaktilasi jejak dan meneladani mereka.
BACA JUGA: Amalan-amalan Ini Menolong Manusia setelah Meninggal Dunia (2-Habis)
Bagi siapa saja yang merasa mulia hanya sebatas kemuliaan fisik berupa harta, tahta, dan rupa, ketahuilah semua itu bakal sirna dan tiada. Ukuran kemuliaan secara materi akan lenyap seiring dengan bergulirnya roda waktu kehidupan. Maka dari itu semua itu bukan yang utama meski kita butuh juga dalam perjuangan. Kuncinya bukan terpaku dan berhenti pada materi dan fisik. Lebih dari itu bagaimana kita mampu mentransformasikan materi bernilai rohani.
Materi dipergunakan sedemikian rupa untuk perjuang menuju ridha Allah ta`ala. Sebagaimana Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdur Rahman bin `Auf dan sahabat-sahabat lainnya. Mereka bernilai bukan semata karena fisik, harta dan kedudukan yang mereka miliki. Mereka bernilai dan mulia karena mampu mengubahnya menjadi kontribusi ketaatan dan ketakwaan.
Maka jangan heran jika orang yang secara fisik tidak begitu menarik, mampu mengungguli kemulian orang yang fisiknya menarik. Sekali lagi yang dapat menjelaskan rahasia di balik semua itu ialah: Taqwa. Dari kata “taqwa” ini kita menemukan konsep Nabi dalam membina sahabat-sahabatnya.
Dengan konsep “taqwa” Rasulullah mampu melahirkan generasi yang mampui menciptikan kontribusi besar, bukan hanya untuk sesamanya tetapi kontribusi yang melampaui sekalian alam. Bahkan melampaui batas ruang dan waktu. Mereka adalah generasi yang dibina dan dibesarkan bukan karena banyak omel tapi banyak amal. []