Oleh: Achmad Fawaid Al-Dani Putra,
Relawan Inspirasi Desa Berdaya Rumah Zakat & Pegiat FLP Sumenep, Madura
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…” (Q.S Al-Fatah: 29)
SAYYID Quthb, cendekiawan, sastrawan, ahli tafsir, dan pemikir gerakan Ikhwanul Muslimin pasca syahidnya Imam Hasan Al-Banna, ketika menjelaskan Q.S Al-Fatah ayat 29 melabelinya dengan judul “Generasi Yang Tiada Duanya”. Q.S Al-Fatah ayat 29 tersebut secara tekstual menjelaskan ciri-ciri dari generasi awal umat islam yang menjadi pioner perbaikan peradaban manusia: dengan melakukan islamisasi dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang sebelumnya “jahiliyah”. Terdapat begitu banyak sifat dan sikap baik yang terdapat pada generasi ini. Rosul memepertegas itu semua dengan menyebut mereka sebagai generasi terbaik: generasi yang tiada duanya.
BACA JUGA : Gelar Manajer di Usia Muda
Di era kontemporer ini, dimana islam telah dianut oleh mayoritas penduduk dunia dan ummat islam dihadapakan pada kompleksitas permasalahan; kebodohan, keterbelakangan, kerusakan moral, perpecahan, dan lain-lain, ada baiknya kita secara sungguh-sungguh mempelajari ulang nilai-nilai unggul yang terdapat pada generasi yang tiada duanya tersebut.
Pembelajaran ini menjadi penting sebagai langkah awal proses transformasi nilai-nilai unggul dari “generasi awal ummat islam” ke “generasi penyeru kebaikan di era kekinian dan kedisinian” . Sehingga dengan proses transformasi nilai tersebut, para penyeru kebaikan di era sekarang memiliki keunggulan sifat dan sikap yang sama dengan para pendahulunya. Setidaknya mendekati.
BACA JUGA: Belajar dari Usamah bin Zaid
Seorang bijak berkata “Tak kan menjadi baik umat ini, kecuali dengan cara-cara umat terdahulu (generasi salaf) menjadi baik”. Barangkali benar, bahwa permasalahan yang dihadapai ummat islam saat ini jauh lebih kompleks dibandingkan permasalahan yang dihadapi generasi salaf: ada lebih banyak tantangan, ada lebih banyak sarana kemungkaran, ada lebih banyak makar dan barangkalai ada lebih banyak musuh.
Tapi tentu menduplikasi sifat-sikap unggul dari generasi salaf guna menyelesaikan berbagai permasalahan di era kontemporer bukanlah sesuatu yang salah, apalagi tak berguna. Duplikasi sifat-sikap unggul ini adalah keharusan, khususnya bagi para du’at: penyeru kebaikan. Sejarah adakalanya berulang, walau tak selalu. Masalah yang sama, adakalanya bisa diselesaikan dengan cara sama: walau ada perbedaan rentang waktu yang lama.
Adapun ciri-ciri dari generasi terbaik yang dijelaskan Allah dalam Q.S Al-Fatah: 29 antara lain sebagai berikut.
1. Adanya qiyadah (pemimpin) sebagai katalisator perbaikan.
Muhammad, sebagai seorang Rosul yang dipilih Allah, tidak sekedar berfungsi sebagai penyampai wahyu dari Allah kepada ummat manusia. Muhammad adalah qiyadah yang selalu mengambil bagian terdepan dalam berbagai medan kebaikan. Ia adalah sosok manusia terbaik yang tidak sekedar paling dicintai Allah, tapi paling dicintai pula oleh pengikutnya.
Lihatlah sikap Umar yang marah besar dan sampai akan memenggal leher siapa saja yang mengabarkan bahkan Muhammad telah wafat di usianya yang ke enam pulauh tiga. Ini adalah ekspresi cinta: tak ada manusia yang rela berpisah dengan orang yang paling dicintainya, apalagi untuk selamanya.
Muhammad tak sekedar memiliki keshalehan pribadi yang mumpuni, keshalehan sosialnyapun diakui oleh semua orang: bahkan sejak ia belum diangkat menjadi Rosul. Gelar “Al-Amin” yang tersemat pada dirinya adalah bukti tak terbantahkan betapa kaum kafir Quraisy sekalipun mengakui integritas kejujuran Muhammad.
Muhammad adalah akumulasi semua sifat baik dan sikap kepahlawanan yang mengejewantah pada diri satu orang. Muhammad adalah akal raksasa yang tercerahkan wahyu, karenanya ia sangat disegani dan berpengaruh. Sifat dan sikap baiknya menjadi katalisator bagi para pengikutnya untuk senantiasa berlomba menteladaninya dalam semua aspek kebaikan dan perbaikan. Bahkan hingga sekarang.
2. Adanya jundi yang setia membersamai
“…orang-orang yang bersama dengan dia”. Demikianlah Allah menerangkan sikap para pengikut Muhammad. Mereka adalah para sahabat yang senantiasa membersamai dalamsegala kondisi: susah-mudah, bahagia-sedih. Setia. Mereka adalah para jundi yang menjelma anak panah yang siap meluncur dari busur kemanapun Muhammad mengarahkannya. Dan tentu, selalu terasah.
Mereka adalah kumpulan manusia dengan karakter-karakter unik dan latar sosial yang berbeda. Hingga perannya dalam dakwahpun berbeda. Lihatlah Umar….!! Ia lelaki paling gagah, paling berani. Bahkan kata Anis Matta dalam Serial Cinta, masuk islamnya Umar setara dengan kudeta militer terhadap masyarkat kafir quraisy. Tapi, dengan segala kegagahan dan keberaniannya, tak sekalipun Umar oleh Rosul ditunjuk sebagai panglima perang. Aneh memang. Tapi Umar tak pernah memprotes hal itu. Ia adalah jundi, tugasnya taat pada sang Qiyadah: Muhammad. Umar adalah anak panah, dan Muhammadlah pemegang busur yang mengarahkannya.
Kebersamaan yang dimaksud Allah dalam ayat tersebut tentu tak terbatas dari sekedar kebersamaan fisik, tapi lebih dari itu: kebersamaan hati, kebersamaan pemiikiran, kebersaan perilaku, kebersamaan cita-cita dll. Kenyataan ini memberi kesempatan bagi kita untuk menjadi bagian dari “…orang-orang yang bersama dengan dia”.
Kitapun bisa menjadi jundi yang setia dan membersamai Rosul. Membersamai rosul dalam hati, pemikiran, perilaku dan cita-cita. Kata Imam Hasan Al-Banna dalam Risalah Pergerakan: Ar-Rosul Qudwatuna.
3. Memiliki Perilaku Sosial Yang Mulia
“…keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”. Demikianlah Allah menggambarkan prilaku sosial generasi awal ummat islam: berkasih sayang dengan sesama muslim, tegas dan keras terhadap orang kafir. Wujud kasih sayang sebagai sesama muslim itu diwujudkan dengan sikap-sikap mulia: saling menolong, saling memaafkan, saling memberi dan puncaknya saling mendahulukan kepentingan saudara muslimnya (itsar).
Kisah 4 prajurit muslim yang terluka parah dan kehausan di padang pasir memberikan kita gambaran betapa indah-nya sikap itsar diantara mereka. Dikisahkan, disaat mereka terluka dan kehausan di padang pasir, persediaan air yang tersedia sudah menipis: hanya cukup untuk satu orang.
Yang dilakukan ke-4 prajurit tersebut bukannya berebut untuk meneguk air tersebut, tapi justru sebaliknya: memilih mengahirkan dirinya hingga air tersebut terus bergilir dari prajurit yang satu ke prajurit yang lain. Terus begitu: bergilir tanpa satupun prajurit menegus air tersebut, seberapa hauspin mereka. Sampai ahirnya kesemuanya syahid karena luka dan kehausan. Subhanallah.
Sementara dengan orang-orang kafir mereka bersikap keras dan tegas. Tak ada kompromi dalam aqidah dan ibadah. Tapi tentu tetap ada toleransi dan sikap saling menghargai. Hidup berdampingan dan tidak salig merugikan. Dan seruan dakwah harus terus berjalan hingga islam semakin tersebar dan dianur lebih banyak manusia.
4. Memiliki perilaku ibadah yang istimewa dan Semata Mencari Karidhaan Allah
“..Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…”. Demikianlah Allah menggambar perilaku “generasi yang tiada duanya” tersebut dari ibadah. Mereka ruku’ dan sujud dalam banyak kesempatan: tidak hanya ruku’ dan sujud yang bersifat wajib. Hingga tanda-tanda ketaqwaan nampak jelas pada muka mereka: wajah nan bersih dan berseri-seri.
Perilaku ibadah yang seperti ini terwariskan pada genarasi-generasi sesudahnya. Bahkan, salah satu sebab yang menjadi alasan Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukkan konstantinopel adalah prilaku ibadah pasukannya yang menyerupai “generasi yang tiada duanya tersebut”: ibarat singa di siang hari dan ibarat rahib di malam hari yang larut dalam kekhusukan ibadah.
Aktifitas ibadah yang istimewa tersebut semuanya diperuntukkan untuk mencari ridha Allah. Murni karena Allah, bukan karena yang lain. Mereka tak larut akan puji, tak lemah karena cela. Ridho Allah menjadi tujuan segala aktifitas mereka, khususnya ibadah. Kata Imam Hasan Al-Banna dalam Risalah Pergerakan: Allah Ghayatuna.
Kesemua sifat-sikap unggul yang melekat pada diri “Generasi Yang Tiada Duanya” tersebut tentu tiak lahir dengan sendirinya: serta merta. Ada sebab-sebab yang melatarinya. Adapun sebab-sebab tersebut antara lain adalah:
1. “Generasi Yang Tiada Duanya” belajar islam langsung dari sumbernya: Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan mereka memiliki kesempatan langsung untuk membersamai Sang Pembawa Risalah (Muhammad red) dalam banyak kesempatan: di masjid, di medan perang, di pasar dll…
2. “Generasi Yang Tiada Duanya” memiliki motivasi belajar yang khas: mereka belajar untuk beramal. Ya, beramal. Semua ilmu yang mereka dapatkan dari Sang Murobbi (Rosul: Muhammad) disegerakan untuk diamalkan. Karena sejatinya ilmu tanpa amal, kata Rosul, ibarat pohon tanpa buah. Karenanya amal-amal monumental mereka begitu banyak tercatat dalam sejarah: dalam hal keberanian, dalam hal kesabaran, dalam hal kebijaksanaan, dalam hal kedermawanan dll..
3. “Generasi Yang Tiada Duanya” adalah kumpulan manusia-manusia unggul yang terbuka dan siap menerima perubahan ke arah perbaiakan. Mereka menyadari fungsi mereka sebagai pejuang islam, karenanya setiap perubahan yang sekiranya dapat meningkatkan kapasitas dan kredibiltas mereka sebagai pejuang islam mereka terima dengan antusias. Selain itu, di antara mereka terdapat banyak pemuda. Anis Matta dalam Serial Pembelajarannya menyebutkan bahwa: “Pemuda, adalah mereka yang tidak sekadar siap menerima perubahan, tapi lebih dari itu: memimpin perubahan.”
Demikian sekilas karakter unggul “Generasi Yang Tiada Duanya” yang dijelaskan Allah dalam Q.S Al-Fatah: 29. Mereka adalah generasi yang telah mencatat prestasi gilang gemilang dalam segala aspek kehidupan: khususnya dakwah dan jihad.
Semoga ada banyak saripati inspirasi yang bisa kita gali dan kita internalisasi dalam diri masing-masing sebagai seoraang du’at. Dan, seperti yang dikatan M. Natsir: Masa depan ada di tangan Islam. Tak ada yang perlu ditakutkan. []