Myanmar tetap tidak mau menerima etnis Rohingya yang telah bermukim ratusan tahun di Provinsi Rakhine sebagai bagian dari bangsa dan negara itu.
Kasus Rohingya mirip-mirip dengan perlakuan terhadap warga muslim Bosnia-Herzegovia di bawah federasi Yugoslavia dulu. Komunis Yugoslavia menindas kegiatan agama warga Bosnia. Walaupun ada masjid, tetapi komunitas Islam diarahkan oleh negara untuk tidak mengenal ajaran agama.
Yugoslavia berhasil “menetralkan” kaum muslimin Bosnia. Hanya generasi tua dan para mufti (ustad) yang memahami dan mempraktekkan ajaran Islam. Ketika Mikhail Gorbachev, pada 1980-an, melancarkan Perestrioka (reformasi) dan Glasnost (keterbukaan) yang membuat Uni Soviet akhirnya runtuh, federasi Yugoslavia pun tertular demokratisasi. Rakyat Bosnia-Herzegovia, dan juga negara-negara lain yang ada di dalam federasi Yugoslavia, menyuarakan aspirasi untuk berdiri sendiri.
Terjadilah peperangan (1990-1992) antara negara terbesar di dalam federasi, yaitu Republik Serbia, dan negara-negara anggota lain termasuk Bosnia. Di dalam federasi itu ada juga Kroasia, Selovenia, Montengero, dan Macedonia.
Apa beda Myanmar dan Yugoslavia? Bedanya, Yugoslavia mengakui Bosnia-Herzegovina sebagai bagian dari federasi Yugoslavia sedangkan Myanmar sama sekali tidak mengakui Rohingya sebagai suku bangsa tetapi mengakui wilayah yang mereka diami sebagai bagian dari Myanmar.
Singkatnya, Myanmar (c.q. sebagian besar orang Budha plus perangkat negara) tidak mau ada orang Rohingya di negara itu. Myanmar tidak memberikan status kewarganegaraan kepada warga Rohingya. Padahal, mereka ikut berjuang bersama warga Birma (sebelum menjadi Myanmar) dalam perang kemerdekaan melawan Inggris.
Pendekatan masyarakat internasional terhadap kasus Rohinngya sangat ideal. Yaitu, Myanmar harus mengakui penduduk muslim Rohingya sebagai warganegara. Sehingga, mereka tidak lagi merasa “stateless” (tak bernegara). Mereka bisa ikut dalam proses demokrasi di Myanmar.
Tetapi, orang Budha (mayoritas) dan militer menolak solusi ini. Penolakan itu mereka sertai dengan lampiran-lampiran berupa penindasan dan berbagai bentuk pengekangan. Tentulah permusuhan menjadi keniscayaan. Permusuhan yang bergulir dari tahun ke tahun pasti pula akan memunculkan bentrokan fisik. Dan pastilah pula yang kuat berbuat sesuka hati.
Yang kuat itu adalah negara. Mereka mengerahkan perangkat militer untuk menghabisi warga Rohingya. Mulanya militer membiarkan milisi teroris yang berbaju Budha untuk menindas kaum muslimin Rohingya. Tetapi, akhirnya, tentara dan polisi merasa perlu turun tangan langsung untuk mempercapat genosida itu. Untuk mengakselerasi pemusnahan warga Rohingya.
Semasa konflik Yugoslavia (konflik Balkan), Presiden Slobodan Milosevic dan Jendral Ratko Mladic (panglima militer) turun langsung dalam operasi pembersihan etnis Bonsia muslim. Ini yang memicu NATO melakukan intervensi militer yang kemudian melahirkan negara Bosnia-Herzegovina melalui perjanjian damai.
Di Myanmar saat ini, “Presiden” Aung San Suu Kyi dan panglima militer negara itu, Jenderal Min Aung Hlaing, bagaikan bersepakat untuk menghabisi kaum muslimin Rohingya.
Berlebihankah narasi ini? Bagi saya, tidak. Sebab, kalau Suu Kyi mau, dia bisa mengatakan kepada militer bahwa penyiksaan brutal, pembunuhan sadis, pemerkosaan wanita Rohingya baik oleh ekstremis-teroris berbaju Budha maupun oleh tentara, serta pembumihangusan kampung-kampung mereka, bagaimanapun juga akan terungkap oleh masyarakat internasional.
Suu Kyi bisa berbuat. Yang menjadi masalah ialah, dia sendiri juga ingin Mynamar tanpa muslim Rohingya. Myanmar tanpa keberagaman. Dia sependapat dengan mayoritas mutlak warga Budha yang menolak keberadaan umat agama lain. Mereka ingin Myanmar menjadi “one faith nation” (negara satu agama).
Mungkinkah keinginan seperti ini tercapai? Jawabanya, dengan bungkus konflik berkepanjangan, boleh jadi konflik berdarah seperti sekarang, “one faith nation” itu bisa saja direalisasikan dan dipertahankan. Dan, sebetulnya, inilah yang tengah berkembang di Rakhine.
Kelihatannya, Suu Kyi dan militer, secara psikologis, merasa cita-cita “negara satu agama” itu bisa mereka ciptakan mengingat jumlah populasi muslim Rohingya hanya sekitar 1.1 juta jiwa. Artinya, relatif mudah untuk mereka “hilangkan” dari peta Myanmar secara bertahap.
Secara bertahap itu, misalnya, sejak 2013 penguasa Myanmar memberlakukan dengan paksa kebijakan “dua nak” untuk warga muslim Rohingya. Dengan tujuan agar pertambahan penduduk mereka terkendali ke arah semakin mengecil. Atau, secara bertahap itu bisa juga dalam arti “pembantaian reguler” yang terjadwal sampai akhirnya populasi Rohingya punah.
Tentu kita semua tidak mengharapkan skenario semacam ini terjadi. Yang terbaik adalah pemberian otonomi khusus kepada warga Rohingya agar mereka bisa menjadi bagian dari Myanmar.
Sehingga, mereka bisa ikut dalam proses politik dan demokrasi di negara itu secara bertanggung jawab. Hak-hak asasi mereka terlindungi secara hukum dan konstitusi. []