GERAKAN pembaharuan Islam di Indonesia dimulai sekitar abad ke 18 dan akhir abad ke 19 dengan diawali pada tahun 1803 ketika tiga orang haji dari tanah Minang baru saja tiba di Nusantara. Ketiga haji itu bernama Hadji Miskin, Hadji Sumanik, dan Hadji Piabang.
Ketiga-tiganya menyaksikan secara langsung proses islamisasi atau gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh para pengikut Muhammad bin Abdul. Suatu gerakan yang hendak mengembalikan umat kepada Qur’an dan Sunnah mengutip perkataan Ibnu Taimiyyah yakni ruju’ ila Qur’an wa Sunnah yang artinya kembali kepada Qur’an dan Sunnah.
Gerakan pembaruan yang dibawa ketiga orang itu justru mendapatkan dukungan dari beberapa saudagar dan juga tokoh Muda Minang yang turut melawan berbagai bentuk penjajahan serta kejumudan masyarakat dalam adat istiadat yang mengarah kepada segala bentuk khurafat, bid’ah dan takhayul.
Hal ini justru dibiarkan oleh para kolonialis Belanda hingga umat dibiarkan jauh dari ajaran Islam yang hanif dengan kejumudan-kejumudan serta kungkungan adat yang membuat aktivitas ibadah umat semakin terjerumus ke dalam bid’ah, khurafat dan takhayul.
Rupanya, gerakan pembaruan ini turut menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Hal ini ditandai dengan kemunculan atau kehadiran Jam’iyyatul Khair, Muhammadiyah, Sarekat Dagang Islam (pada tahun 1905 berubah nama menjadi Sarekat Islam), Al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis).
Awal Berdirinya Persis
Persatuan Islam (Persis) didirikan oleh orang-orang Sumatera tepatnya Palembang yang bermukim di Bandung untuk kepentingan dagang mereka. Tepatnya didirikan pada tanggal 12 September 1923. Awalnya pendirian Persatuan Islam (Persis) ini bermula dari kenduri serta diskusi keagamaan yang dilakukan di rumah salah seorang pendiri Persis yakni H. Muhammad Yunus dan H. Zamzam. Pada awalnya kelompok kajian ini biasa mengkaji artikel-artikel di majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh salah seorang modernis di Kairo dan majalah Al-Munir yang diterbitkan di Padang oleh para ulama Indonesia yang pernah belajar di Mekkah.
BACA JUGA: Wibawa Dakwah Buya Hamka
Jumlah awal anggota Persis pada masa pendirian itu tidak kurang dari 20 orang. Aktivitas Persis masa awal pun hanya berkisar pada jama’ah shalat Jum’at. Adapun syarat untuk menjadi anggota Persis pada masa itu hanyalah minat tinggi terhadap persoalan agama dan muslim yang mewakili baik sudut pandang modernis maupun tradisionalis pada awalnya sama-sama terdaftar sebagai anggota. Adapun jumlah perwakilan Pimpinan Pusat Persis pada masa sekarang ini ada tiga perwakilan yakni Perwakilan Pimpinan Pusat Persis Kawasan Timur, Perwakilan Pimpinan Pusat Persis Mesir (Kairo) dan Perwakilan Pimpinan Pusat Persis Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk pimpinan wilayah Persis sampai hari ini berjumlah 17 pimpinan wilayah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sementara untuk pimpinan daerah sendiri berjumlah 65 pimpinan daerah. Dan untuk pimpinan cabang berjumlah 366 cabang serta 4 cabang atau perwakilan Persis di luar negeri seperti Cabang Persis Singapura, Perwakilan Persis di Kairo, Perwakilan Persis di Maroko dan Perwakilan Persis di Makkah Al-Mukarromah. Adapun otonom yang berada di bawah jam’iyyah Persis saat ini diantaranya ada Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Rijaalul Ghad (RG), Ummahatul Ghad (UG), serta Himpunan Mahasiswa Persis (HIMA PERSIS) dan Himpunan Mahasiswi Persis (HIMI PERSIS).
Dakwah Persis pada masa awal pendirian ditempuh dengan jalan diskusi keagamaan yang bertempat di rumah H. Zamzam dalam acara kenduri. Lalu ketika A. Hassan masuk menjadi bagian dari Persis sekitar tahun 1926, arah dakwah Persis mulai diarahkan kepada perdebatan yang biasanya dilakukan secara terbuka baik secara langsung maupun melalui media cetak. Seperti perdebatan dengan Ahmadiyyah, perdebatan dengan atheis, perdebatan dengan Nahdlatul Ulama, perdebatan dengan Permi, perdebatan dengan Soekarno, bahkan perdebatan dengan kalangan non muslim seperti Kristen Advent.
Dalam perdebatan yang dilangsungkan secara terbuka biasanya dihadiri sampai 500 orang. Perdebatan yang dilakukan Persis pada masa itu biasanya selalu memancing kepenasaran orang-orang luar untuk menyaksikannya. Bahkan ketika A. Hassan melakukan perdebatan secara terbuka dengan perwakilan Ahmadiyyah dilaksanakan sampai tiga hari berturut-turut dihadiri ratusan orang bahkan sampai diliput beberapa media masa pada saat itu salah satunya majalah Fikiran Rakjat. Selain melalui perdebatan secara langsung. Ada juga perdebatan yang dilakukan melalui media masa seperti saat Komite Pembela Islam mendebat seorang pendeta yang menghina Islam dan Nabi Muhammad melalui majalah Pembela Islam juga polemik panjang antara A. Hassan dengan Soekarno lewat surat-suratnya. Serta perdebatan antara A. Hassan dan Buya Hamka yang berlangsung hampir berbulan-bulan lamanya. Bahkan A. Hassan sampai menulis satu nomor khusus di majalah Al-Lisaan dengan judul Pengajaran Bahasa Arab untuk Buya Hamka. Bahkan untuk nomor itu, majalahnya dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Selain melalui media penerbitan. Dakwah Persis pun dilakukan melalui media pendidikan. Hal itu bisa dibuktikan dengan pendirian Pendidikan Islam (Pendis) oleh Mohammad Natsir yang merupakan cikal bakal berdirinya Pesantren Persatuan Islam yang sampai hari ini jumlahnya kurang lebih ratusan pesantren yang tersebar di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan Bangil, Jawa Timur.
BACA JUGA: Medsosmu Arenamu, Medsosmu Ladang Dakwahmu
Media penerbitan dan publikasi pun tak lupa dijadikan sebagai salah satu sarana dakwah Persis seperti diterbitkannya majalah Pembela Islam, Aliran Islam, Al-Lisan, At-Taqwa, Lasykar Islam (kelanjutan dari majalah Pembela Islam yang dibredel Belanda), Al-Fatwa, serta majalah Al-Muslimun yang diterbitkan A. Hassan dari Bangil. Selain melalui media masa seperti majalah. Persis juga memanfaatkan media penerbitan buku-buku para ulama Persis yang terkenal produktif di masa itu seperti A. Hassan dengan hampir 83 bukunya dimana beberapa bukunya termasuk yang sangat dikenal bahkan masih dijadikan rujukan umat sampai hari ini seperti Soal Djawab jilid 1-4, Pengajaran Shalat, Tafsir Al-Furqan, Islam dan Kebangsaan, ABC Politik, Perempuan di Podium serta karya-karya lainnya. Bahkan A. Hassan tercatat pernah menerbitkan satu kumpulan puisi yang berjudul Syair serta 4 jilid buku humor yang dijudulinya Tertawa. Ulama Persis lainnya yang terkenal produktif pada masa itu selain A. Hassan adalah Mohammad Natsir yang aktif menulis artikel-artikel juga beberapa buku diantaranya Capita Selecta sebanyak tiga jilid. Fiqih Dakwah, dan Kebudayaan Islam. Ada pula Isa Anshary yang tercatat menulis tulisan sebanyak 63 buku diantaranya ada Mujahid Dakwah, Falsafah Perdjuangan Islam, Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum, Manifesto Perjuangan Persis, Bahaja Merah di Indonesia, dan lain-lain.
Selain melalui forum perdebatan dan penerbitan majalah-majalah serta buku-buku karya ulama Persis. Penyebaran dan dakwah Persis pun dilakukan melalui kegiatan tabligh dan ceramah yang diisi oleh para ulama Persis seperti A. Hassan, Mohammad Yunus, H. Zamzam, Endang Abdurrahman, Fachruddin Al-Kahiri, KH. M Romli, O. Qomaruddin dan lain-lain. Bahkan pada masa itu, Persis pun turut andil dalam perjuangan politik Islam melalui dua tokohnya seperti M. Natsir dan Isa Anshary. Keduanya tercatat aktif sebagai bagian dari partai Masyumi. Bahkan pada masa awal pendirian Masyumi, Persis menjadi salah satu anggota istimewa bersama Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam, Al-Irsyad dan ormas-ormas Islam lainnya.
Penutup
Itulah sebagian aksi dakwah Persatuan Islam (Persis) dari masa ke masa. Suatu aksi dakwah yang masih memerlukan perjalanan panjang ketika umat dihadapkan pada sejumlah persoalan. Tentu, harapan akan munculnya sosok-sosok mumpuni seperti A. Hassan, M. Natsir, Isa Anshary, Endang Abdurrahman, Latief Mukhtar dan Shiddiq Amien di tubuh Persis diharapkan mampu menjawab tantangan dakwah yang dihadapi Persis di masa yang akan datang. []
Oleh: Aldy Istanzia Wiguna – Penyair
SUMBER: JEJAKISLAM.NET