Oleh: Diyaa Aaisyah SPA
Penulis tinggal di Candran, Sidoarum, Sleman, salmaaxia1@gmail.com
Tragedi kemanusiaan di Ghouta sepertinya telah bergeser menjadi pembantaian. Kekuatan militer dikerahkan untuk membombardir warga sipil tanpa pandang bulu.
Hingga saat ini korban terus berjatuhan dari pihak warga sipil dan oposisi. Sebanyak 1.200 orang terluka, 400.000 orang terpaksa berlindung di dalam ruang bawah tanah dan gua.
Kondisi ini diperparah dengan akses logistik yang tertutup karena kondisi Ghouta yang terus digempur oleh alutsista pasukan Suriah dan hujan es.
Sementara di sisi lain, dunia terus memberikan kecaman atas pembantaian yang terjadi dan bantuan sosial sebagai bentuk “cinta” akan kemanusiaan dan rasa keprihatinan. Dari organisasi perdamaian dunia hingga tokoh-tokoh besar berbagai negara menyeru, mengecam, mengutuk, dll.
Namun mengapa konflik-konflik semacam ini terus ada, berlanjut, dan bertambah?
Benarkah ini “cinta” sejati?
Apakah tidak terlintas dalam benak hati dan pikiran pembaca tentang apa yang sebenarnya mereka butuhkan?
Ya. Yang diperlukan umat bukan hanya “cinta” dalam hal logistik dan retorika.
Umat memerlukan dekapan “cinta” dari sosok ayah, yakni pemimpin “laki-laki” yang rela berlari kencang keluar “rumah” dan “batas perumahan” demi menolong anak-anaknya yang menjerit meminta pertolongan dari serangan-serangan dan pembantaian. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.