SALAH satu sikap yang perlu dan urgen untuk diluruskan saat ini, adalah sikap ghuluw terhadap guru dan tokoh panutan. Sikap semacam ini sangat mungkin merusak paham dan amal kita, juga menjadi pemicu pertikaian sesama muslim.
Tentu ghuluw itu beda dengan ta’zhim dan ihtiram (menghormati dan memuliakan) guru, yang merupakan kewajiban kita. Mencium tangan guru, bahkan tabarrukan dengan menyantap makanan dan minuman yang mereka hidangkan, atau sisa mereka, juga bukan sikap ghuluw yang dimaksud. Mendoakan mereka siang dan malam, juga bukan sikap ghuluw, malah adab yang baik.
Salah satu contoh jelas dari sikap ghuluw adalah meyakini bahwa guru dan tokoh panutannya selalu benar, tak mungkin salah, tak boleh dikritik, dan hal-hal semisal.
BACA JUGA:Â Aswaja Sangat Anti-Ghuluw
Karena ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam, bahwa tidak ada manusia yang ma’shum kecuali Nabi dan Rasul, bahwa semua orang mungkin benar mungkin salah.
Tidak ada orang yang menguasai As-Sunnah sepenuhnya. Tidak ada yang bebas dari dosa dan kesalahan.
Sikap ghuluw semacam ini, hampir ada di setiap kelompok, meski didasari oleh hal-hal yang berbeda.
Di satu kalangan, guru atau tokoh panutannya dianggap representasi As-Sunnah dan paham generasi salaf, sehingga pendapat guru atau tokoh panutannya itu dianggap sebagai As-Sunnah yang harus diikuti, dianggap mewakili ijma’ salaf yang tak boleh diselisihi. Yang menyelisihi pendapatnya, dianggap menyimpang. Yang mengkritiknya dilabeli sebagai musuh Sunnah.
Di kalangan lain, guru atau tokoh yang dianggap wali, didudukkan pada posisi yang sangat tinggi. Hampir menyamai Nabi atau bahkan melebihinya. Kadang diyakini, gurunya tidak terikat lagi dengan Syariat, ini ghuluw level tertinggi. Kadang dianggap, semua yang disampaikan guru atau tokohnya, pasti benar, tanpa perlu verifikasi.
BACA JUGA:Â Prinsip Kemudahan dalam Fiqih Islam
Yang dilakukannya, tak mungkin salah. Jika zhahirnya menyimpang, harus dita’wil dan dicarikan pembenarannya. Semua kabar darinya, qath’i kebenarannya, seakan satu derajat dengan Al-Qur’an dan Hadits mutawatir.
Di kalangan lain lagi, guru atau tokohnya dianggap mujaddid terbesar, tokoh yang kiprahnya dalam dakwah dan kebangkitan umat paling besar, pemikirannya paling cemerlang, dan seterusnya. Setiap pendapat yang diajukan pasti benar dan harus diikuti oleh semua orang. Jika menyelisihi, siap-siap dituduh musuh dakwah, musuh Islam, anti Islam, dan semisalnya.
Contoh-contoh di atas tentu bukan generalisasi, anggaplah itu oknum di masing-masing kelompok. Namun dipastikan ada, dan sepertinya cukup banyak.
Wallahu alam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara