Ustaz, apa saja yang disunnahkan dalam proses meminang? Seperti apakah proses meminang yang sesuai syariat?
Proses meminang yang sesuai syariat adalah sebagai berikut.
Pertama.
Jika seseorang mau menikah dan mau meminang wanita tertentu, maka dia pergi sendiri kepada walinya atau ditemani oleh salah satu kerabatnya seperti bapaknya atau saudara laki-lakinya atau mewakilkan kepada seseorang untuk meminangnya, masalah ini sangat longgar, sebaiknya juga mengikuti ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, pada sebagian negara justru menjadi aib jika peminang pergi sendiri untuk menemui wali mempelai wanita, maka hal ini perlu diperhatikan.
Yang disyari’atkan adalah calon mempelai laki-laki hendaknya melihat calon mempelai wanita, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (1865) dari al Mughirah bin Syu’bah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa dia telah meminang seorang wanita, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Lihatlah dia, karena akan lebih mendekatkan hubungan (kasih sayang) kalian.” (Dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Tirmidzi)
Kedua.
Jika calon mempelai wanita dan keluarganya sudah menyetujui, maka perlu disepakati masalah mas kawin dan biaya pernikahan juga kapan pelaksanannya dan lain sebagainya. Hal ini juga berbeda-berbeda pada setiap tempat, juga tergantung dengan kemampuan pihak laki-laki dan kesiapannya untuk melangsungkan resepsi pernikahannya.
Sebagian orang ada yang menyatukan pertunangan dengan akad nikah pada satu majelis, sebagian mereka menangguhkan akad nikah atau menangguhkan untuk menggaulinya meskipun sudah melaksanakan akad nikah, semua itu boleh-boleh saja, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah resmi menikah dengan ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- pada saat ia berusia 6 tahun, kemudian beliau menggaulinya pada saat berusia 9 tahun”. (HR. Bukhori: 5158)
Ketiga.
Bukan termasuk yang disunnahkan membaca surat al Fatihah pada pada saat meminang atau akad nikah, namun yang disunnahkan adalah membaca khutbatul hajah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kami tentang khutbatul hajah pada saat pernikahan atau yang lainnya:
“Sungguh segala puji hanya milik Allah, kami meminta pertolongan dan meminta ampun kepada-Nya, kami berlindung kepada-Nya dari keburukan nafsu kami, barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tidak ada yang mampu menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan maka tidak ada yang mampu memberinya hidayah, dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. an Nisa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. al Ahzab: 70-71)
(HR. Abu Daud: 2118 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Abu Daud)
Lajnah Daimah lil Ifta’ pernah ditanya (19/146): “Apakah membaca surat al Fatihah pada saat seorang laki-laki meminang wanita termasuk bid’ah ?”.
Mereka menjawab:
“Membaca surat al Fatihah pada saat berlangsungnya proses pertunangan atau proses akad nikah adalah bid’ah”.
Keempat.
Tidak ada pakaian khusus bagi mempelai laki-laki maupun perempuan dalam proses pertunangan, akad nikah ataupun berhubungan suami istri, sebaiknya memperhatikan kebiasaan masyarakat setempat selama tidak bertentangan dengan syari’at, atas dasar inilah maka tidak masalah bagi seorang laki-laki memakai pakaian tertentu.
Dan jika mempelai wanitanya bisa dilihat oleh banyak orang laki-laki, maka hendaknya ia memakai pakaian yang menutupi auratnya seperti halnya sebelum dan sesudah nikah. Dan jika dia berada di antara sesama wanita maka dia boleh berhias dan memakai pakaian sesukanya, namun tetap menghindari berlebih-lebihan, mubadzir dan yang bisa mengundang fitnah.
Adapun memakai setelan, maka tidak disyari’atkan baik bagi wanita maupun laki-laki; karena ada unsur tasyabuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir.
Semoga Allah menuntun kita kepada yang Dia cintai dan Dia ridhoi. Wallahu a’lam. []
SUMBER: ISLAMQA