KETIKA ajal seseorang akan dicabut, Apakah setan bisa menyesatkan manusia ketika sakaratul maut?
Ketika diusir oleh Allah, dan dicap sebagai pembangkang, dia bersumpah di hadapan Allah – dengan semangat hasad kepada Adam dan keturunannya,
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat),” (QS. al-A’raf: 16 – 17).
Dalam hadis dari Abu Said al-Khuri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Iblis bersumpah, demi keagungan-Mu ya Rab, aku tidak akan pernah berhenti untuk menyesatkan hamba-hamba-Mu, selama ruh mereka masih dikandung jasad. Allah berfirman, “Demi keagungan dan kumuliaan-Ku, Aku akan senantiasa memberikan ampunan untuk mereka, selama mereka memohon ampun kepada-Ku,” (HR. Ahmad 11237 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Atas sumpah ini, iblis dan bala tentaranya sangat antusias untuk menyesatkan manusia. Terutama di suasana-suasana genting, ketika manusia di posisi sangat labil.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setan mendatangi kalian dalam segala urusan kalian,” (HR. Muslim 5423).
Setan Mendatangi Manusia Ketika Sakaratul Maut
Itulah detik-detik yang paling menentukan nasib manusia di akhirat. Karena semua amal dinilai berdasarkan ujungnya. Di saat itulah, setan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Bisa jadi, dia akan mendatangi manusia ketika kematian. Karena itu, salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memohon perlindungan kepada Allah, agar tidak disesatkan setan ketika kematian.
Dalam salah satu doanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
“Aku berlindung kepada-Mu agar tidak disesatkan setan ketika kematian,” (HR. Ahmad 8667, Abu Daud 1554 dan dishahihkan al-Albani).
Al-Khithabi menjelaskan hadis di atas, dengan menyebutkan beberapa bentuk gangguan setan ketika mendekati kematian.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari disesatkan setan ketika kematian, bentuknya adalah setan mengganggunya ketika dia hendak meninggal dunia. Lalu setan menyesatkannya, sehingga menghalangi dia untuk bertaubat, atau menutupi dirinya sehingga tidak mau memperbaiki urusannya atau memohon maaf dari kedzaliman yang pernah dia lakukan.
Atau membuat dia merasa putus asa dari rahmat Allah. atau membuat dia benci dengan kematian dan merasa sedih meninggalkan hartanya, sehingga dia tidak ridha dengan keputusan Allah berupa kematian, dan menuju akhirat. Sehingga dia akhiri hidupnya dengan keburukan, lalu dia bertemu Allah dalam kondisi Dia murka kepada-Nya
Kemudian, al-Khithabi menegaskan,
Diriwayatkan bahwa tidak ada kesempatan yang lebih diperhatikan setan untuk menyesatkan manusia, selain ketika kematiannya. Dia akan mengundang rekan-rekannya, “Kumpul di sini, jika kalian tidak bisa menyesatkannya pada hari ini, kalian tidak lagi bisa menggodanya selamanya,” (Aunul Ma’bud, 4/287).
Di sana ada beberapa kejadian yang dialami para ulama, ketika proses kematiannya, setan berusaha untuk menggodanya.
Diantaranya Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Diceritakan oleh Abdullah putra Imam Ahmad,
Aku menghadiri proses meninggalnya bapakku, Ahmad. Aku membawa selembar kain untuk mengikat jenggot beliau. Beliau kadang pingsan dan sadar lagi. Lalu beliau berisyarat dengan tangannya, sambil berkata, “Tidak, menjauh! Tidak, menjauh! ” beliau lakukan hal itu berulang kali. Maka aku tanyakan ke beliau, “Wahai ayahanda, apa yang Anda lihat? Beliau menjawab,
“Sesungguhnya setan berdiri di sampingku sambil menggingit jarinya, dia mengatakan, ‘Wahai Ahmad, aku kehilangan dirimu (tidak sanggup menyesatkanmu). Aku katakan: “Tidak, masih jauh! Tidak, masih jauh! ” (Tadzkirah Al-Qurthubi, Hal. 186).
Maksud cerita ini, setan hendak menyesatkan Imam Ahmad dengan cara memuji Imam Ahmad. Setan mengaku menyerah di hadapan Imam Ahmad, agar beliau menjadi ujub terhadap diri sendiri dan bangga terhadap kehebatannya. Tapi beliau sadar, ini adalah tipuan. Beliau tolak dengan tegas: “Tidak, saya masih jauh, tidak seperti yang kamu sampaikan.” tidak bisa kita bayangkan, andaikan ujian semacam ini menimpa tokoh agama atau orang awam di sekitar kita.
Termasuk juga, kejadian yang pernah dialami salah satu ulama Kordoba. Seperti yang diceritakan Imam al-Qurthubi,
“Saya mendengar guru kami, Abu Abbas Ahmad bin Umar di daerah perbatasan Iskandariyah bercerita: ‘Saya menjenguk saudara guruku, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad di daerah Kordoba. Ketika itu beliau sedang sekarat. Ada yang mentalqin beliau: ucapkan: Laa ilaaha illallaah…
Tapi orang ini malah menjawab: Tidak… Tidak… Setelah beliau sadar, beliau bercerita: ‘Ada dua setan mendatangiku, satu di sebelah kanan dan satunya di sebelah kiri. Yang satu menyarankan: Matilah dengan memeluk Yahudi, karena itu adalah agama terbaik. Satunya berkata: Matilah memeluk Nasrani, karena itu adalah agama terbaik. Lalu aku jawab: Tidak… Tidak…” (Tadzkirah al-Qurthubi, Hal. 187).
Memang tidak semua orang mengalaminya. Ada yang mengalami kejadian demikian dan ada yang tidak mengalami. Namun setidaknya ini menjadi peringatan bagi kita akan betapa mencekamnya sakaratul maut. Karena yang menentukan status manusia adalah ujung hidupnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Nilai amal, dintentukan keadaan akhirnya,” (HR. Bukhari 6493, Ibn Hibban 339 dan yang lainnya). []
Sumber: konsultasi Syariah