ISLAM adalah agama yang amat memperhatikan kebersihan dan keindahan. Sering kita mendengar nasihat para ulama bahwa “Kebersihan adalah sebagian daripada iman.” Rasulullah sebagai teladan umat manusia juga terkenal sebagai pribadi yang bersih, baik jasmaninya maupun ruhaninya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqas dari bapaknya, dari Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu.” (HR. Tirmizi).
Namun, kenyataannya umat Islam saat ini kurang mencerminkan ajaran mengenai kebersihan semacam itu dalam kehidupan keseharian. Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja’ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Bahkan, Shalat tidak sah tanpa istinja’ terlebih dahulu (selain wudhu jika dalam keadaan hadats kecil, dan mandi jika dalam kondisi hadats besar).
Istinja’ pada hakikatnya adalah usaha untuk menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus. Tapi, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan, khususnya dari alat yang digunakan. Istinja’ tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula menggunakan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.
Berbeda dengan wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan tayamum dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan dan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah SWT, khususnya sholat.
Seperti disebutkan di atas bahwa shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Seperti yang kita ketahui, bahwa dunia ini sebagian besar adalah lautan. Kurang lebih 85% lautan dan sisanya daratan.
Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tetapi ada pula yang sedikit. Merujuk pada hal tersebut, jika istinja’ hanya boleh dilakukan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus.
Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.
Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam ilmu fiqih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.
Hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori banda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar, dan kulit hewan. Semua itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja’. Dengan demikian, hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukukmnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam illat (alasan terjadinya hukum).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka hal ini telah mengubah gaya hidup masyarakat dan mengalami pergeseran menuju ke arah “serba praktis,” begitu pun dalam hal istinja’.
Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak dipergunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering.
Seperti diterangkan di atas bahwa istinja’ dapat dilakukan dengan air dan batu, baik hakiki maupun syar’i. Tissue bukan air, bukan pula hajar hakiki. Pertanyaannya apakah dapat untuk istinja’?
Merujuk dari beberapa literatur madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab, Bujairami Syarh Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan bahwa tissue dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i. Maksudnya adalah benda benda padat, tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap mulia dan berharga), dan tidak terdapat tulisan di dalamnya. Jika terdapat tulisan dalam tissue (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan itu.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah, kalau istinja’ memakai hajar hakiki atau syar’i disyaratkan tiga kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap tiga kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih. []
Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU