JAKARTA—KH Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, menilai pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah dan masyarakat luas.
Pernyataan Gus Sholah itu dikemukakan saat meresmikan berdirinya Yayasan Penguatan Peran Pesantren Indonesia (YP3I), di Tebuireng, Sabtu (18/3/2017).
“Kalau tidak ada kiai dan pesantren, maka patriotisme warga Nusantara—yang kemudian menjadi bangsa Indonesia—akan hancur berantakan,” ungkap Gus Sholah mengutip catatan Douwes Dekker, lansir laman resmi NU.
Menurut Gus Sholah, harus diakui bahwa kalangan di luar pesantren adalah kelompok yang mulai menumbuhkan rasa kebangsaan dalam Kongres Pemuda II pada 1928.
“(Tapi) nasionalisme yang mereka usung adalah nasionalisme yang tidak memberi tempat memadai bagi sesuatu yang berbau keislaman,” ujarnya di hadapan ratusan kiai yang memenuhi Aula H. Bachir Pesantren Tebuireng.
Adik kandung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini kemudian mengulas upaya-upaya peminggiran Islam dalam catatan sejarah.
“Dalam buku berjudul ‘The Idea of Indonesia, A History’ karya RE Elson, tidak ada tempat bagi Islam. Nama KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan dan H Agus Salim tidak tertulis dalam buku itu. Buku karya Ricklefs juga bernada sama. Yang tertulis hanya nama HOS Tjokroaminoto,” tandasnya
Pada saat itu, imbuh Gus Sholah, pandangan kalangan luar terhadap pesantren dapat disimpulkan dari pidato Bung Karno saat mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari IAIN Ciputat pada 1964. Dalam pidato tanpa teks, Bung Karno mengkritik pesantren dengan menyebutnya sebagai gudang besar yang tidak punya pintu dan jendela, sehingga terasa pengap dan apek.
Terhadap penilaian tersebut, Gus Sholah lalu mengutip pendapat Menteri Agama saat itu.
“Menurut KH Saifuddin Zuhri (Menag saat itu), yang menganggap bahwa pesantren tidak punya jendela dan pintu adalah mereka yang tidak tahu di mana letak pintu dan jendela (pesantren) itu,” tegasnya, disambut tawa dan tepuk tangan hadirin. []