DI kawasan Pethek, Semarang Utara, dahulu dikenal ada seorang bernama Habib Ahmad al-Bahr. Ia dikenal sebagai ahli ibadah yang zuhud (tidak cinta dunia) dan wira’i (sangat hati-hati).
Dalam mencari harta, Habib Ahmad amat selektif. Ia benar-benar mesti memastikan harta tersebut—terutama yang hendak ia makan—berasal dari sumber yang halal seratus persen.
BACA JUGA: Siapa Habib Umar bin Hafidz, Ulama dari Yaman?
Tiap makanan yang masuk ke dalam perut harus betul-betul bisa dipertanggungjawabkan kehalalannya.
Dalam al-Qur’an, Allah subhânahu wa ta’alâ berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.” (QS Al-Mu’minun: 51)
KH Muhammad Shofi Al-Mubarok Baedlowie, pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Grobogan, Jawa Tengah menyatakan, dalam ayat ini para utusan Allah disuruh untuk mengonsumsi makanan yang baik-baik, kemudian kalimat setelah itu dikatakan, mereka disuruh beramal baik.
Kenapa dua jenis kegiatan ini diperintah secara beruntun? Ya, karena orang yang makannya baik, otomatis akan ringan mengerjakan kebaikan. Sebaliknya, apabila yang dimakan harta haram, ia akan berat melaksanakan amal kebaikan.
Habib Amin bin Abdurrahman al-Athas yang didampingi Habib Salim bin Ahmad al-Bahr (putra kandung Habib Ahmad al-Bahr) mengisahkan sebagian sikap hati-hati Habib Ahmad al-Bahr itu.
Riwayatnya, Habib Ahmad tidak pernah berkenan makan dari harta yang tidak jelas. Ia lebih memilih, terutama harta yang dibuat makan adalah hasil keringat yang jelas asal-usulnya, yaitu dari penjualan telur ayam yang ia pelihara.
Suatu ketika, secara tidak sengaja, ayam yang ia pelihara di dalam kandang tersebut ada yang lepas dan kemudian memakan gabah padi milik tetangga yang sedang dijemur.
Mengetahui demikian, Habib Ahmad lalu segera mendatangi pemiliknya kemudian meminta agar gabah yang dimakan ayamnya tadi dihalalkan. “Mohon maaf, tadi ayam saya memakan gabah milik anda, saya minta halal ya…”
Begitu kira-kira kata Habib Ahmad. Habib Ahmad berpedoman, uang dari hasil penjualan telur harus halal. Apabila ayam yang bertelur ini mengonsumsi makanan yang tidak halal, tentu akan berimbas terhadap kehalalan telur yang dihasilkan dari ayam tersebut.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda Ka’b ibn ‘Ujzah sebagai berikut:
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta haram. Neraka lebih layak baginya.” (Musnad Ahmad: 13919)
BACA JUGA: Perbedaan Habib dan Syekh
Dengan demikian, kita dapat mengambil pelajaran bahwa mencari harta memang butuh kesungguhan. Jangan terkecoh dengan jargon “Mencari harta yang haram saja sulit, apalagi yang halal.”
Rezeki yang halal haruslah dicari dengan berpegang prinsip hati-hati.
Sesungguhnya tidak ada makhluk melata mana pun yang masih ditakdirkan hidup oleh Allah, akan mati kelaparan. Karena rezeki mereka di bawah tanggung jawab-Nya. Wallahu a’lam. []
SUMBER: NU ONLINE