PERNIKAHAN merupakan hal yang sakral untuk dilaksanakan, dan amat bahagia apabila seluruh rekan dan sanak keluarga hadir pada acara tersebut, namun apa hukumnya ketika menghadiri undangan pernikahan (Walimahan) tanpa adanya undangan?
Pertama, ada hadits Rasulullah saw yang menegaskan, “Apabila salah seorang dari kalian diundang ke acara resepsi pernikahan (walimatul ‘ursy), maka hendaknya dia menghadirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam syarah Muslim, Imam an-Nawawi menjelaskan, bahwa menurut jumhur yang termasuk kategori wajib menghadiri undangan adalah walimatul ‘ursy atau resepsi pernikahan. Sementara selain itu adalah hukumnya sunnah. Karena itu, lebih utama antum menghadiri walimah nikah jika pilihan salah satunya saja. Mengingat yang wajib tidak bisa dikalahkan dengan yang sunnah.
Demikian pula dikarenakan memenuhinya bagian dari salah satu hak antarsesama muslim. Rasul saw bersabda, “Hak muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu pula, sejatinya aqiqah yang dikenal pada masa Nabi saw adalah hanya dengan membagikan masakan daging dari hewan kambing yang disembelih karena kelahiran anak (aqiqah). Namun dengan adanya acara berkumpul dan pengajian juga tidak masalah, dan patut kita hadiri jika tidak bentrok dengan undangan wajib.
Kedua, jika kita perhatikan dalam hadits-hadits tentang perintah memenuhi undangan, kita temukan kerap diawali dengan “jika engkau diundang”, oleh karena itu konsekuensi hukum adalah pada yang diundang. Sementara jika tidak diundang, terlebih terkait dengan mengambil milik orang lain, termasuk hidangan makanan yang disediakan, karena ia disediakan untuk tamu undangan. Yang dulu antum lakukan dengan teman-teman sama halnya mengambil hak tanpa izin. Demikian pula termasuk jika kita diundang, tapi kita mengajak teman yang tidak diundang, Islam mengajarakan untuk terlebih dahulu meminta izin.
Hal ini sebagaimana tergambar dalam sebuah riwayat, bahwa suatu hari seorang dari kalangan Anshar yang bernama Abu Syu’aib melihat tanda-tanda lapar di wajah Nabi saw, lalu dia meminta anaknya untuk membuatkan makanan dan mengundang beliau saw bersama empat sahabat lainnya (yang ketika itu bersama Nabi). Namun ada seorang yang ikut (menyusul kemudian tanpa undangan).
Maka Nabi saw pun berkata kepada Abu Syu’aib, “Engkau mengundang kami lima orang, tapi ini ada satu orang yang ikut (jadi enam orang). Jika engkau berkenan, tolong izinkan dia, dan jika tidak, maka aku akan tinggalkan (tidak mengikutsertakannya).” Abu Syu’aib menjawab, “Aku izinkan.” (HR. Muslim).
Dari hadits tersebut dapat dipahami, jika tanpa ada undangan, kita boleh menghadiri atau mengajak orang lain dalam undangan tapi dengan terlebih dulu meminta izin kepada shahibul hajat, orang yang mengundang kita. Terlebih dalam sebuah hadits Rasulullah saw dengan tegas mengancam, “Siapa yang menghadiri acara makan-makan padahal tidak diundang, maka dia masuk rumah sebagaimana pencuri dan pulang dalam keadaan sebagai pecundang.” (HR. Abu Daud)
Ketiga, memang banyak dipahami bahwa kalau kita sedang puasa dan mendapat undangan atau bahkan jika bertamu sekalipun, maka kita harus membatalkan puasa kita untuk menghormati yang mengundang atau shahibul bait. Sejatinya jika kita diundang dan kita sedang berpuasa, maka kita boleh melanjutkan puasa kita dan hanya diperintahkan untuk mendoakan yang mengundang. Sebagaiman disebutkan dalam hadits, “Apabila salah seorang di antara kalian diundang maka wajib baginya untuk menghadiri undangan.
Apabila dia dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia mendokannya (yang mengundang) dan jika dia dalam keadaan berbuka (tidak puasa) maka hendaknya dia memakan hidangannya.” (HR. Muslim).
Mengomentari hadits ini, Imam an-Nawawi menjelaskan, jika puasa wajib atau nadzar maka tidak boleh dibatalkan. Sementara jika puasa sunnah maka tetap melanjutkan puasa, kecuali jika dapat membuat tersinggung yang mengundang maka boleh membatalkannya.
Pendapat Imam an-Nawawi ini sejalan dengan sabda Nabi saw dalam riwayat lain, “Orang yang berpuasa sunnah lebih berhak atas dirinya, jika ingin maka boleh membatalkan atau menyempurnakan puasanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). []