HAMPIR di seantero penjuru dunia saat ini, mayoritas umat islam memakai bacaan qiraat Imam Ashim riwayat Hafs, tapi di saat bersamaan Hafsh bin Sulaiman Al-Kufi (wafat 180 H) sang rowi, dianggap dhaif periwayatan haditsnya, bahkan dinilai dengan matruk dan kadzab (pendusta).
Ada sebagian yang membela dengan dalih, bahwa setiap orang yang fokus dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada satu cabang ilmu, pasti akan berkurang perhatian dan kemahirannya dalam cabang ilmu lain yang diabaikan.
Tapi pembelaan ini kurang mengena, karena bagaimana mungkin seseorang yang bacaan Al- Qurannya dijadikan pegangan mayoritas umat islam saat ini. Di sisi lain pribadinya dicela, haditsnya ditinggalkan dan dicap sebagai pendusta. Ini adalah suatu kontradiksi yang sangat nyata.
Tapi sebelum kita mulai membahas terlalu jauh, mari kita ketengahkan perkataan-perkataan ulama jarh mutaqaddimin tentang imam Hafsh, karena ulama jarh setelahnya hampir hanya mengutip dan meneruskan penilaian ulama jarh mutaqaddimin saja :
1.Yahya bin Ma’in : (Hafsh bin Sulaiman) dhaif, dalam riwayat lain : tidak tsiqah, dalam riwayat lain : pendusta
2.Imam Ahmad, Muslim dan Annasai : haditsnya ditinggalkan.
3.Imam Bukhari : mereka meninggalkan haditsnya.
4. Abdurrahman bin Yusuf bin Kharasy : pendusta, haditsnya ditinggalkan dan pemalsu hadits.
5. Ibnu Hibban : Dia menukar hadits dan memarfu kan hadits mursal.
Kiranya cukup pernyataan jarh dari ulama hadits periode mutaqaddimin diatas. Mari kita runut darimana asal tuduhan-tuduhan di atas, karena menurut kaidah jarh yang mu’tamad, menuduh seseorang dengan dhaif dan lainnya itu membutuhkan alasan dan sebab. (Assuyuthi, Tadrib Arrawi : 1/202)
Ibnu Katsir berkata : Sesungguhnya orang yang pertama berkomentar tentang Hafsh adalah Syu’bah bin Hajjaj ,kemudian diikuti oleh muridnya Yahya bin Said Al-Qathan, dan diikuti oleh muridnya lagi : Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lainnya. (Al-Ba’its Al-Hatsits : 137)
Dan hampir-hampir komentar jarh atas Hafs Al-Qari berkutat pada perkataan2 para Imam yang disebut oleh Ibnu Katsir di atas.
Dan kita akan fokus pada komentar Syu’bah bin Hajjaj dan Yahya bin Ma’in, karena penilaian dhaifnya hafsh oleh ulama jarh setelahnya kebanyakan disandarkan kepada kedua perkataan ulama ini.
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal sendiri menta’dilkan hafsh dalam 3 riwayat, dan hanya mendhaifkan Hafsh dalam satu riwayat, dan nanti akan kita bahas kemudian.
1. Syu’bah bin Hajjaj Al-Bashri (wafat 160 H).
Awal mula wahm ini bermula dari satu riwayat yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Sa’ad Al- Bashri dan Imam Ahmad bin Hanbal dari Yahya bin Sa’id Al-Qathan Al-Bashri dari Syu’bah bin Hajjaj bahwa Syu’bah berkata : “Hafs bin Sulaiman (Al-Minqari, Al-Bashri) meminjam kitab kepadaku dan tidak mengembalikannya, dan dia suka meminjam catatan orang lain untuk disalinnya.” (Athabaqat Al-Kubra : 7/256)
Dari sinilah wahm atau kesalah fahaman dimulai, Hafsh bin Sulaiman maula bani minqar al- Bashri, dianggap sebagai Hafsh bin Sulaiman al-Qari al-Kufi. Yang mana Syu’bah sebenarnya sedang mengomentari Hafsh al-minqari yang berada di bashrah tapi diasumsikan oleh ulama setelahnya sebagai Hafsh al-Qari yang ada di kufah.
Ini dikuatkan oleh riwayat yang serupa bahwa Hafsh yang diceritakan Syu’bah meninggal sebelum peristiwa Thaun (Tahun 131 hijriah-Al-Ilal wa Ma’rifatur Rijal : 2/503
) sedangkan Hafsh al-Qari menurut Imam Ibnul Jazari meninggal sekitaran tahun 180-190 hijriah. Jadi makin menguatkan bahwa yang diceritakan oleh Syu’bah adalah Hafsh al-Bashri bukan Hafsh Qori Al-Kuufi.
Dari komentar Syu’bah diatas, dimulailah wahm, karena ulama setelahnya banyak memasukkan cerita diatas ke dalam biografi Hafsh al-Qari, dan menjadikannya illat untuk mendhaifkan Hafsh Al-Qari. Sampai-sampai Imam Bukhari pun memasukkan beliau dalam kitab Adhuafa Ashaghir dengan menyetir alasan perkataan Syu’bah di atas.
Maka setelah Imam Bukhari memasukkan Hafsh Al-Qari ke dalam kitab Adhuafa berbondong- bondong ulama setelahnya menjarh Hafsh Al-Qari tanpa meneliti illat kenapa beliau di dhaifkan, dan makin kuatlah wahm ini.
2. Yahya bin Ma’in al-Baghdadi (wafat 233 H)
Imam Yahya bin Ma’in tdk mengenal Hafsh al-Qari secara pribadi, bahkan tidak pernah diriwayatkan bahwa keduanya pernah bertemu, baik di Baghdad atau di kota lainnya. Dan Yahya menilai Hafsh dari perkataan Ayyub bin Al-Mutawakkil Al-Qari Al-Bashri (wafat 200 H).
Dalam Tarikh Baghdad, Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan bahwa Abu Zakariya (Yahya bin Ma’in) berkata : Ayyub bin Al-Mutawakkil Al-Qari berkata : Abu Umar al-Bazzaz (Hafsh) qiraatnya lebih shahih dari Abu Bakar bin Ayyasy (Syu’bah, perawi Ashim) dan Abu Bakar lebih tsiqat dari Abu Umar. (Tarikh Baghdad : 8/186)
Dan ulama jarh watta’dil setelahnya menganggap bahwa ini adalah perkataan Yahya bin Ma’in sendiri, padahal ini adalah perkataan Ayuub bin Al-Mutawakkil. Dan lebih celaka lagi, kata lebih tsiqat diselewengkan menjadi tidak tsiqat. Padahal kata Abu Bakar lebih tsiqat bukan berarti Hafsh tidak tsiqat.
Setidaknya itulah yang tercatat dalam Al-Kamil Ibnu Adi (Al-Kamil fi Adhuafa : 2/380) dan Tarikh Ibnu Ma’in (Tarikh Ibnu Ma’in : 97) dari riwayat Utsman Addarimi. Dan lebih parahnya dalam al-Kamil Ibnu Adi dari riwayat Assaji menjadi lebih ekstrem dengan diksi tambahan : Abu Bakar terpercaya sedang Hafsh pendusta. (Al-Kamil : 2/380)
Kemudian disimpulkan oleh Ibnu Jauzi bahwa Ibnu Ma’in berkata : Hafsh dhaif, diriwayat lain : tidak tsiqat, diriwayat lain : pendusta. (Kitab Adhuafa wal Matrukiin : 1/221)
Bagaimana mungkin perkataan Ibnu Al-Mutawakkil yang mengatakan Abu Bakar lebih tsiqat daripada Hafsh berubah menjadi Hafsh tidak tsiqat dan pendusta. Alasan Abu Bakar lebih tsiqat kemudian dijustifikasi bahwa Hafsh dhaif, tidak tsiqat atau pendusta adalah tidak masuk akal. Alhasil, generasi para ulama jarh setelahnya menetapkan Hafsh dhaif, tidak tsiqat dan dianggap pendusta hanya karena salah memahami diksi perkataan Ibnu Al-Mutawakkil yang dianggap sebagai komentar jarh Ibnu Ma’in.
Kemudian adapun perkataan Abdurahman bin Yusuf bin Kharasy bahwa Hafsh pendusta, ditinggalkan haditsnya dan pemalsu hadits adalah perkataan yang tidak berdasar dan tidak ada alasannya, dan perkataan yang tidak ada pendahulunya dari kalangan ulama jarh mutaqaddimin, dan perlu diketahui bahwa Abdurrahman adalah seorang rafidhi yang juga mengomentari dua imam besar, Bukhari dan Muslim. (Thabaqat Al-Huffadz : 297) Jika kepada keduanya saja dia berani berkomentar maka apalagi kepada selain keduanya.
Imam Bukhari dalam Tarikh Al-Kabir menulis setidaknya ada 4 orang yang bernama Hafsh bin Sulaiman yang hidup di abad kedua Hijriah :
1. Hafsh bin Sulaiman Al-Minqari Al-Bashri, meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri.
2. Hafsh bin Sulaiman Al-Azdi meriwayatkan dari Khalid bin Hisan.
3. Hafsh bin Sulaiman yang meriwayatkan dari Muawiyah bin Qarah dari Hudzaifah.
4. Hafsh bin Sulaiman Al-Asadi Abu Umar, Al-Qari.11
Karena kesamaan dan kemiripan nama ini sampai Abu Zar’ah Ubaid bin Abdul Karim (wafat 264
H) mewanti-wanti agar jangan tertukar. Suaalaat al-Bardza’i : 8)
Dan besar kemungkinan Ibnu Hibban ketika menilai Hafsh Al-Qari tertukar dengan Hafsh yang lain. Ibnu Hibban berkata : (Hafsh Al-Qari) menukar hadits, memarfu kan hadits yang mursal, meminjam kitab dan tidak mengembalikannya dst. (Kitab Al-Majruuhin : 1/255) Dan kita mafhum bahwa yang meminjam kitab dan tidak mengembalikannya lagi adalah Hafsh bin Sulaiman Al-Minqari, dan kemungkinan yang mermarfukan hadits mursal adalah Hafsh bin Sulaiman Al-Azdi, karena Ibnu Hibban di tempat lain menilai Al-Azdi dengan meriwayatkan hadits mursal, dan terbuka kemungkinan adanya tashif. (Atsiqaat : 6/197)
ULAMA YANG MENTA’DIL HAFSH
Sebenarnya ulama yang mentakdil Hafsh Al-Qari banyak, tetapi karena banyak pula yang menjarh (dengan wahm dan salah diksi) akhirnya takdil tersebut tertutup oleh sisi Jarhnya. Salah satu ulama yang menta’dil Hafsh adalah imam Waki bin Al-Jarrah al-Kuufi (wafat 196 H). Diriwayatkan dari kitab2 Jarh watta’dil dari Abu Amr addani al-Andalusi, bahwa Imam Waki berkata tentang Hafsh : “Dia Tsiqat.” (Jamal Al-Qurra : 2/466) Dan komentar takdil Imam Waki ini penting sekali, karena beliau adalah ulama yang satu kota dan satu qurun dengan Hafsh Al-Qari, dan ulama kufah lebih mengetahui keadaan ulamanya daripada ulama kota lain. Karena orang yang melihat tidak sama dengan orang yang mendengar.
Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal pun seperti dikutip oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, beliau diriwayatkan mengomentari Hafsh Al-Qari sebanyak 4 kali, dengan perincian :
1. Dia Shalih
2. Tidak mengapa
3. Dia Shalih
4. Haditsnya ditinggalkan. (Tarikh Baghdad : 8/186)
Dan ada kemungkinan riwayat yang keempat ini adalah wahm dengan hafsh bin sulaiman al- Minqari seperti dibahas diatas, karena kontradiksi dengan tiga riwayat lainnya.
Adzahabi meriwayatkan dari Ahmad bin Sahl Al-Usynani bahwa dia berkata : saya membaca kepada Ubaid bin Ashabah dan dia adalah seorang dari golongan orang Shalih dan wara, dia berkata : “Saya membaca Al-Quran seluruhnya kepada Hafsh bin Sulaiman dengan tanpa perantara antara aku dan dia.” (Ma’rifatul Qurra Al-Kibar : 1/249)
Dan ini muridnya yang shalih dan wara pun membanggakan gurunya dengan menyebut tanpa perantara, dan biasanya murid yang shalih tidak akan jauh dari kesalihan gurunya pula.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa komentar negatif para ulama jarh terhadap Imam Hafsh bin Sulaiman Al-Qari perlu ditinjau ulang, karena setelah ditelusur alasannya bermuara kepada wahm dari pernyataan Syu’bah bin Al-Hajjaj dan salah pemahaman diksi kalimat dari perkataan Ayyub bin Al-Mutawakkil, kemudian dilegitimasi oleh ulama jarh setelahnya.
Karena tidak mungkin seseorang yang bacaan qiraatnya dianggap shahih tetapi pribadinya tertuduh dengan dusta dan pemalsu hadits. Dikuatkan dengan ta’dil dari Imam Waki’, Ahmad bin Hanbal dan Ubaid bin Ashabah, makin menguatkan bahwa Imam Hafsh sebenarnya tsiqat, shalih dan riwayat haditsnya tidak dhaif.
Dan semoga semua uraian ini dapat menghilangkan buruk sangka kita terhadap seorang ulama qiraat terkemuka.
Wallohu A’lam. []
Karawang, 22 Ramadhan 1441 Hijriah / 15 Mei 2020 Masehi
Disarikan dari kitab Abhats fi Uluumil Quran karangan Dr. Ghanim Qodduri Al-Hamad hal. 91-106