MELIHAT foto Aya Sofya berseliweran di jagat maya, hatiku turut bahagia. Ada cinta, bangga dan harapan di sana. Terlebih, sebuah video dengan alunan merdu muadzin terlantun indah. Allahu akbar Alllaahu akbar, Allahu akbar Alllaahu akbar.
Setelah hampir Satu Abad, kumandang Adzan kembali menghiasi suasana mahakarya arsitektur masa pemerintahan Kaisar Justinian I, yang dibangun sekira abad 6 M (532–537) silam.
Bila Hagia Sophia (Yunani) bisa bicara, mungkin akan berkata, “Masuklah kemari wahai kaum Muslimin, dengan takbir, ruku, sujud dan doa.”
Bergetar dindingnya dengan lantunan adzan, bahagia lantainya dengan sujud-sujud panjang, dan tersenyum atapnya terlewati doa-doa lirih menuju langit. Ya Rabb, air mataku meleleh dalam syukur dan cinta.
Lalu kualihkan pandangan pada sketsa masa lalu.
Hari itu, 7 Juli 1995. Terjadi genosida di Srebrenica yang mengguncang jiwa, lebih dari 8000 jiwa kaum Muslimin Bosnia dibantai tak berdaya. Pera lelaki dianiaya tanpa belas kasihan, beribu muslimah diperkosa, dan anak-anak tak luput dari kekejaman Serbia.
Namun apa yang terjadi? Tragedi paling mengerikan pasca perang Dunia II ini, hanya dipandang sebelah mata. Barat bungkam tak bersuara.
Hari itu, 1934. Mustafa Kemal mengubah Aya Sofya yang sebelumnya masjid menjadi musium. Kaum Muslimin bersedih, Barat bumkan tak mau menghulurkan tangan. Selain tidak suka pada kaum Muslimin, mereka sibuk terlibat Perang Dunia menuju titik nadir kesedihan.
Hari itu, 1453. Pasca ditaklukkannya Konstatinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, Sancta Sophia (Latin) adalah tempat pertama yang didatanginya.
Beliau memandangnya dengan tatapan syahdu, turun dari kuda gagahnya, melepas helm perangnya, lalu sujud menghadap kiblat.
Beliau bangkit, mengambil segenggam tanah, dan menaburkan di kepalanya.
Inilah kerendahan hati, diri ini hanyalah sebongkah jasad yang terbuat dari tanah. Tanda keluasan jiwa dan merasa kecil di hadapan Allah yang Mahabesar.
Beliau sultan, tapi tanpa pertolongan Allah mustahil semua ini terjadi. Beliau pemenang perang, seluruh Kontantinopel dan segala isinya bisa dikuasai dengan seksama, baik sebagai ghanimah, fai atau anfal. Tapi dengan kerendahan hati beliau tidak melakukan semua itu, yang ada adalah jaminan keamanan untuk semua penduduknya. Yang pada waktu itu kaun Nasrani hidup di sana bersama tempat ibadahnya, termasuk juga Aya Sofya yang saat itu sebegai gereja.
Kalau Aya Sofya mau diambil, sebetulnya mudah saja. Tapi Sultan Muhammad Al-Fatih tidak melakukan itu, yang ada justru merogoh saku pribadi untuk membelinya. Lalu menjadikannya masjid, mewakafkannya kepada kaum Muslimin hingga akhir zaman.
Hari ini, 10 Juli 2020. Recep Tayip Erdogan membatalkan keputusan Kemal Pasha yang batil itu, 1934, dari status musium menjadi masjid sesuai amanah wakaf bagi kaum Muslimin selamanya. Allahu akbar…
Ada senyum, syukur dan harapan. Biarlah Barat protes. Biarlah Amerika Serikat, Yunani, dan Rusia marah dan mengecam. Biarlah mereka memperlihatkan standar gandanya.
Biar kita lihat, keputusan 10 Juli ini sebagai kemenangan kaum Muslimin dan protes keberatan Barat.
Biar kita lihat, peringatan 7 Juli sebagai tragedi pembantaian berdarah 8000 Muslim Bosnia oleh Serbia dan Barat bungkam tak bersuara.
Biarkan Barat keberatan atas putusan Aya Sofya. Biarkan otoritas Turki menjawabnya, “Apa urusan Anda merecoki kebijakan dalam negeri kami?”
Sungguh Aya Sofya dan Srebrenica telah menelanjangi Barat dalam bersikap.
Yang kini kita rindukan adalah Al-Aqsha, yang masih merintih kesakitan dan merindukan kaum Muslimin membebaskannya. Ya Allah, berilah kami kekuatan. []